Hack Yourself!

 

“Setiap orang punya milieu intelektualnya masing-masing.”

Kajian karakter selalu menarik untuk dibahas. Mengenali karakter sangat penting bagi guru untuk mengetahui masing-masing jalur kecerdasan peserta didik, karena cara belajar dan bakat setiap peserta didik berbeda. Selain itu, kajian karakter pun sangat penting sebagai pengamalan dari firman Allah di surat Adz-Dzaariyat ayat 21:

وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ

"Dan dalam diri kalian sendiri, maka tidakkah kalian memperhatikannya?"

Kata “bashara” (melihat yang tak terlihat/nonmikroskopis) lebih dalam dari “nazhara” (melihat hal yang terlihat/mikroskopis).

Ayat ini lebih menjurus kepada hal yang abstrak seperti psikis daripada yang konkret seperti anatomi. Atau bisa juga memperhatikan keajaiban-keajaiban yang Allah tampakan dalam ciptaan-Nya. Begitu pula di akhir surat Fushshilat ayat 53,

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّ

"Akan kami tampakan tanda-tanda kekuasaan kami di seluruh ufuk jagat raya dan di dalam diri mereka sendiri, hingga nyata bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah sebuah kebenaran."

Para ulama memang menafsirkan makna ayat tersebut sebagai keajaiban pertolongan Allah kepada kaum Muslimin, yang berawal dari sebuah pedusunan Yatsrib yang kecil, menjadi negeri Madinah, hingga menjadi imperium besar yang menguasai 1/3 dunia, serta menaklukan dua imperium di zamannya.

Namun dewasa ini, sains dan teknologi telah membuka cakrawala yang lebih luas seputar kemukjizatan Al-Qur'an, termasuk dalam kajian karakter. Ada banyak tanda kekuasaan Allah yang dapat ditemukan dalam pengkajian “An-Nafs” (jiwa), salah satunya tentang karakter dan mesin kecerdasan.

Saya bukan orang Psikologi, tapi termasuk orang yang menyimpan perhatian lebih terhadap dunia psikologi praktis demi mengamalkan perintah Allah di surat Adz-Dzariyat ayat 21 tadi. Dalam mencari tahu perihal karakter ini, saya pernah mengikuti tes STIFIn dengan hasil mesin kecerdasan “Instinc”, dan tes Talents Mapping dengan hasil 7 karakter utama dari total 34 karakter bakat, yaitu connectedness, input, maximizer, empathy, futuristic, intellection, dan harmony.

Setelah memperhatikan karakter pribadi, ada banyak hal yang bisa dipelajari. Ibarat posisi pada pemain bola, bisa berfokus dengan posisi masing-masing. Posisi back tidak perlu memaksakan diri menjadi striker, begitupun striker yang tidak perlu memaksakan mundur ke belakang menggantikan keeper.

Memahami karakter diri membuat lebih bersyukur dan dapat berfokus pada apa yang Allah berikan. Menjadi lebih percaya diri dengan penuh semangat mengupgrade kemampuan diri melalui bakat yang telah Allah berikan.

Sebelum mengenal karakter, saya mengalami kesulitan dalam belajar. Hal ini setidaknya terjadi di jenjang SD dan SMP, saya tidak pernah mengais ranking walaupun hanya sekali, karena merasa terbebani dengan pelajaran tertentu dan akhirnya menganggap diri tidak berkemampuan dan tertinggal. Namun, setelah mengenal karakter akhirnya bisa lebih legowo dengan pelajaran yang unintended dan lebih nge-gas di pelajaran-pelajaran yang merupakan arena intelektual diri.

Berdasarkan pengalaman pribadi, setelah memahami kelebihan di bidang seni dan sastra, saya terus mengupgrade dua hal tersebut, dari mulai menulis buku, menulis lagu, mempelajari gitar dan piano, menggeluti seni kaligrafi, qira’ah berirama, serta kesenian lainnya. Beberapa orang menyangka bahwa saya memiliki talenta lebih dari satu, padahal saya hanya memaksimalkan sebuah mesin kecerdasan yang Allah berikan. Jadi, semuanya dimulai dari mengenal diri sendiri.

Analogi dalam sebuah handphone, kita seakan menghacking diri dan menginstal aplikasi-aplikasi yang kita inginkan dan menghapus yang tak perlu, memenuhi RAM dengan skill yang kita inginkan dan mengisi ROM dengan karya dan produk yang bisa kita hasilkan.

Bedakan dengan orang yang sama sekali tidak mengenal dirinya dan terombang-ambing dalam kebingungan intelektual. Bingung dengan jurusan mana yang harus dia pilih dan bingung terhadap masa depannya ingin jadi apa.

Kajian karakter ini sangat luas jangkauannya, melalui metode belajar, metode menghafal, bahkan jurusan kuliah. Saya sampai aneh sendiri ketika mengkaji personal genetik dalam konsep STIFIn.

Terlalu banyak “Allahu akbar” yang saya temukan, terutama saat mengetahui adanya akurasi antara DNA, sidik jari, bakat, mesin kecerdasan (otak yang paling dominan) yang menjurus pada pengetahuan terhadap karakter manusia.

Dalam hal ini, takdir (ukuran/perhitungan) yang Allah tetapkan untuk seluruh makhluk-Nya benar-benar sangat teliti. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qamar ayat 49,

اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ

"Sesungguhnya segala sesuatu itu telah kami ciptakan berdasarkan ketentuan (perhitungan yang sangat teliti dan akurat)."

Apapun yang kita teliti jika dilakukan dengan jujur, maka hasilnya akan bermuara kepada sebuah pengakuan kehambaan dan kerendahdirian di hadapan Allah sang Pencipta, sembari berkata:

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

"Wahai Rabb kami, tak ada satupun dari ciptaan Engkau yang sia-sia (penuh hikmah). Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari api neraka." (QS. Ali Imran: 192)

Setiap orang mempunyai milieu intelektualnya masing-masing, begitupun dengan para santri. Mencoba mengembalikan santri kepada fitrah intelektualitasnya merupakan salah satu cara terbaik untuk memaksimalkan kemampuan mereka, kecuali dalam hal yang fardhu ‘ain (wajib bagi perorangan untuk menguasai dan tak bisa diwakilkan) seperti shalat, membaca Al-Qur’an, memahami syariat Islam, maka tentu seluruh santri harus bisa menguasai.

Adapun dalam pelajaran duniawi, maka memilihkan jalur studi sesuai karakter mesin kecerdasannya merupakan sebuah ikhtiar terbaik untuk masa depan mereka. Hal ini pun sesuai dengan konsep merdeka belajar. Wallahu a’lam.

Stopppp Mental Kawanan

Salah satu mesin penghancur masa depan adalah terlalu bermental kawanan, tidak mau maju ke depan, selalu ingin diwakili orang lain, bertumpu pada orang lain, merasa tidak mampu, selalu bersembunyi di balik sosok orang lain. Hal ini mengkhianati salah satu mimpi besar Bung Karno pada tahun 1965.

Pada 1965 lalu, Bung Karno meneguhkan konsep “BERDIKARI” (berdiri di atas kaki sendiri) di hadapan ribuan rakyat Indonesia. Konsep utamanya adalah agar Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, tidak banyak impor sana sini, bisa menentukan nasibnya sendiri, 100% mengelola negaranya sendiri tanpa intervensi dan infiltrasi dari asing dan aseng.

Ya, walaupun saat itu Indonesia cukup terbully oleh negara-negara yang masih menggemakan perang dingin. Pasalnya, sebagai negara yang baru diakui kemerdekaannya pada akhir tahun 1948, Indonesia sudah berani mempelopori front baru yang disebut gerakan Non Blok, ikut campur politik negara lain, meminimalisasi impor dari luar negeri dan memaksimalkan swasembada pangan dari dalam negeri, dan puncaknya keluar dari PBB pada tahun 1965. Itulah Bung Karno dengan sikap Berdikarinya.

Berdikari terkadang memang menuai resiko. Dalam beberapa waktu mungkin orang lain akan memberikan dislike terhadap perubahan positif kita. Tapi, kita memang harus mendobrak zona itu, Bung. Kita harus mempunyai tanggungjawab terhadap masa depan kita sendiri.

Karena, sedekat apapun dengan teman, tetap saja suatu saat nanti kita akan berpisah, menjalani kehidupan masing-masing, menikah dengan orang yang berbeda, hidup di tempat yang berbeda, itulah grand-reason mengapa kita harus memutus mental kawanan.

Lebih jauh lagi, di akhirat kelak kita harus bertanggungjawab atas amalan masing-masing. Akan tiba detik-detik ketika kita menghadap Allah dalam keadaan sendirian, mempertanggungjawabkan amalan kita selama di dunia.

Satuan hisab itu per-detik. Siapkanlah mental berdikari dan tanggungjawab, serta sesal di hadapan Allah kelak. Semoga Allah berkenan mengampuni semua dosa-dosa kita.

What WIll Be, Will Be

 

Sebuah lagu legend dari mendiang Doris Day yang diciptakan pada tahun 1956. Lagu ini bertutur tentang seorang anak yang insecure dengan masa depannya, lantas ibunya memberikan sebuah words of wisdom, “que sera sera”, simple-nya, “udah jangan terlalu dipikirin, lakukan aja yang terbaik!”

Untuk kamu yang sedang mengalami insecure yang sama dengan anak tadi, sepatah adagium dari emak tersebut bisa dijadikan sebagai solusi. Kehidupan sudah pasti naik turun, ada kala semangat kita membara, ada juga momen di saat kita bener-bener menyerah, dan berpikir seakan ketiadaan lebih baik daripada keberadaan yang fana.

Tapi, men! Sebenarnya setiap orang pun melalui hal yang sama dalam kehidupannya. Bahkan beberapa orang sudah menganggap masalah sebagai besthie, seperti lagunya Lenka:

“Trouble is a friend, cause a trouble is a auw auw auw”

Arina Mocca juga sering melantunkan sebuah idiom legend dalam lagu Happy-nya, Life is just a bowl of cherries. Sometimes it is sweet or filled with worries. Don't be afraid when things go wrong, just be strong!”

Gimana ya? Namanya juga orang hidup yang terus bergerak, sudah pasti sebuah gerak yang kita ayunkan terkadang memicu gesekan hangat bahkan menyulut percikan api. Tapi kata Allah, setelah kesulitan pasti ada kemudahan, Guys! Kalau kata Virgoun, “Anggaplah semua iniiiii, satu langkah dewasakan diri!”

          Jadi, please jangan menyerah dengan masalah yang sedang kamu hadapi saat ini! Kamu harus flashback dan bermonolog, “Sampai sejauh ini, sudah berapa masalah yang sudah saya selesaikan? Dengan izin Allah tentunya.” Jangan ragu bahwa Allah selalu memperhatikan-Mu, menunggu angkat tanganmu untuk menyelesaikan setiap masalahmu. Dia selalu siaga menolongmu bahkan di saat duniamu sedang dalam keadaan terburuknya.

          Konsepnya ada dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman: “Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku.”

Sebagai sang khaliq yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, Allah selalu memperhatikanmu, tak pernah jemu dan malas menunggu saat-saat terdekatmu dengan-Nya. Selalu terngiang lirik nasyid Raihan: “Tuhan, dosaku menggunung tinggi, tapi Rahmat-Mu melangit luas. … Bila selangkah ku datang pada-Mu, seribu Langkah Kau datang padauk.”

          Ketahuilah kawan, kita memiliki Tuhan yang Maha Segala-Nya. Tak ada yang tak mungkin ketika kita sudah menyebut nama-Nya. Dialah Allah sang Maha Pemurah dan Maha Mengapresiasi setiap usaha yang kita lakukan.

          Begitu pula dengan kehidupanmu, masa depanmu, cita-citamu. Jangan pernah berpikir untuk tidak melibatkan Allah di dalam asa-mu. Karena, Dialah energi terbesar di alam semesta. Kehendak-Nya purah sempurna, setelah Kaf sebelum Nun disana.

Let's Make An Evolution

 

 "I Was The Dream Weaver, But Now I’m Reborn"

Kata-kata ini diambil dari lagu God-nya John Lennon. Di balik kontroversi lagu ini yang katanya menggiring pada atheisme, sekularisme, bahkan diabolism Dajjal, ada kisah otentik dari John Lennon kecil yang penuh haru.

Dia terlahir dengan background pasca kecamuk perang dunia II yang membuat pemerintah inggris saat itu harus melakukan recovery secepatnya, setidaknya mencetak pelajar yang berguna. Ayahnya yang berprofesi seorang nelayan pergi meninggalkannya dan Ibunya meninggal tertabrak mobil dinas polisi yang sedang mabuk di siang hari.

Dua momen “orphan” tersebut diabadikan dalam lagu Mother yang dinyanyikan oleh John dengan sangat tragedis. Betapa tragis kehidupannya, hingga ia tumbuh menjadi seorang perindu perdamaian.

Jadi, pada dasarnya lagu God hingga lagu Imagine adalah nothing, hanya sekedar tangis kerinduan belaka. Ajakan di dalamnya hanya berupa formalitas. Ya, namanya juga imagine yang artinya khayalan. Itu adalah otentik khayalannya John Lennon yang diimprovisasi oleh alam pikiran Yoko Ono, istwo-nya.

Kuy, kita kembali ke kalimat “I was a dream weaver, but now I’m reborn. I was the walrus, but now I’m John.” (gue dulunya cuma seorang pemimpi, kini gue terlahir kembali dengan misi dan semangat baru. Dulu gue bercanda dan ingin disebut Walrus, tapi sekarang gue adalah John).

Kita fokuskan ke energi liriknya ya, Guys, yaa! Ini tentang konsep perubahan menjadi lebih baik. Jadilah seperti ulat, jangan seperti ular! Seekor ulat dan ular sama-sama berjuang untuk berubah dengan melakukan puasa selama beberapa waktu, keduanya sama-sama menahan lapar di bawah terik matahari. Namun, ketika masanya tiba, ulat berubah dengan sangat indah menjadi kupu-kupu, berbeda dengan ular yang tidak ada perubahan sama sekali, dia hanya memoles kulitnya menjadi lebih muda.

Guys! Dewasa ini, perubahan merupakan sebuah keniscayaan. 100 tahun lalu, tutorial memasak yang diajarkan moyang kita kepada nenek kita masih relevan untuk diajarkan Kembali kepada ibu kita, namun saat ini, dunia berubah setidaknya setiap 10 tahun sekali.

Para pengamat menyebutnya era disrupsi atau diskropsi, era ketika dunia berubah dengan begitu cepat, teknis lama tergantikan dengan teknis baru yang lebih mudah dan sederhana.

Di era disrupsi ini, justru yang tidak sigap terhadap perubahan lah yang akan celaka. Mungkin kita sering dengan kisah Yahoo Messenger yang meremehkan lawannya, dengan agak sok jual mahal ketika ditawar oleh Google, akhirnya Yahoo tenggelam dan terlupakan. Kita juga sudah tidak asing dengan kisah Nokia yang colaps karena kepedean, meremehkan kompetitor, dan enggan berubah. Detail kisahnya silakan riset sendiri tentang tenggelamnya dua raksasa masa lalu itu.

Inti yang ingin disampaikan dalam fragmen tulisan ini adalah: “Berevolusilah!” Buatlah sebuah perubahan besar dalam hidupmu. Hindari zona nyaman bermental kawanan. Jadilah orang terdepan dengan skill yang kamu miliki.

A Man From Kiara Jegang


Nikmat terbesar setelah anugerah keislaman adalah berteman dengan orang shalih. Demikian perkataan Nidaime Khalifah, Umar bin Al-Khattab r.a.

Perkataan ini sangat benar dan bisa ditelisik baik secara logika ataupun praktik di kehidupan nyata. 

Hal ini kualami ketika berada di jenjang SMA, masa ketika angan dan nafsu jauh berada di atas logika dan realita. Masa ketika akal 70% berada di alam imajiner.

Saat itu seperti remaja lainnya, jiwaku tergiring oleh gaya kehidupan hasil desain Barat. Lebih hafal lagu-lagu Barat daripada Al-Qur'an dan lebih bangga memakai pakaian ala Barat daripada baju gamis. Serta lebih senang berjingkrak ria di studio musik dan di live concert daripada pergi ke masjid. Kira-kira begitulah potret default gaya hidup remaja era 2009-2012an, termasuk aku.

Di akhir masa SMA, tepatnya kelas 12 tiba-tiba Allah menghadirkan seseorang yang disebut teman shaleh, Uci Tarmana namanya. Seorang remaja aneh yang banyak menghabiskan sore untuk mengajar ngaji anak TK dan menghabiskan malam untuk bekerja serta beribadah. Saat SMA dia menetap di masjid sekolah karena rumahnya yang cukup jauh dan terpencil di sebuah dusun bernama Kiara Jegang.

Aku mengenalnya sejak kelas 10 mula. Dialah orang tak dikenal yang pertama kali menyapaku. "Alhamdulillah. Ada teman baru nih, Yu." Ucapnya kepada Wahyu, salah seorang teman shalihku yang lain.

Tapi simpatiku kala itu sedikit dingin karena memang berbeda haluan dengan kehidupannya yang nyantri 100%. Berjalanlah roda alam semesta selama satu tahun, dan kami hidup pada jalan masing-masing.

Hingga suatu hari, entah mengapa di balik riuhnya kehidupan anak band yang katanya menjanjikan kelezatan jiwa itu, tetiba aku merasa jenuh. Hatiku tak bisa sembunyikan kehampaan. Saat itu temanku menyapaku, lalu mengajakku untuk menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan shalat dhuha di Masjid Agung Tanjungsari. Saat itu aku mencoba mengiyakan.

Sebenarnya walaupun hobi ngeband, aku bukan remaja yang terlalu dungu terhadap agama. Sisa-sisa pengembaraan masa lalu di pesantren Al-Bithonah membentukku menjadi seorang mufti kelas, setidaknya ketika ujian pelajaran keagamaan berlangsung.

Namun masalah praktik/pengamalan, temanku yang shaleh ini jauh berada di depanku. Dia remaja yang aneh, tak seperti yang lain. Ketika mendengar lantunan "How many live are living strange.", yang dinyanyikan oleh Liam Gallagher, seringkali potret temanku ini bertebaran di pikiranku menjadi sosok percontohan.

Sepulang dari masjid agung aku merasakan kelezatan baru yang berbeda. Bukan kelezatan sensasional yang menggelora lalu hilang seketika. Akhirnya aku kecanduan dan sering mengabiskan waktu dengan aksi berfaedah tersebut. 

Beberapa bulan sebelumnya salah seorang komplotan Rohis bernama Deza pernah menyapaku ketika mampir ke masjid seusai olahraga di alun-alun. Sambil canda penuh keakraban ia berceloteh, "Lid, kemana? Ayo shalat dhuha dulu! Jangan sampai ke masjid cuma numpang pipis doang. Haha!" Lama-lama candaan itu kepikiran juga.

Setelah itu kharisma anak band yang dahulu terpancar perlahan sirna. Alam pikirku berevolusi dan berpindah haluan. Aku turut rutin menghabiskan waktu istirahat pagi untuk ke masjid dan melaksanakan shalat dhuha.

Di akhir masa SMA, entah mengapa aku menjadi semakin dekat dengan teman Kiara Jegangku ini. Terutama ketika sama-sama berjuang mencari beasiswa ke luar kota.

Maret 2012 kami bertolak ke kota hujan, Bogor. Melewati kota demi kota hingga tersesat di daerah Parung, padahal tujuannya adalah ke Tamansari.

Singkat cerita, kami melewati beberapa tahapan tes dari mulai ideologi, psikologis, fisik hingga pengetahuan umum. Setelah 3 hari diterpa dengan berbagai tes akhirnya kami dinyatakan lulus dan mendapatkan beasiswa full S1.

Beberapa bulan kemudian teman sholehku ini memutuskan untuk keluar. Dia tidak kuat dengan gaya kehidupan di Bogor. Dia lebih memilih berjuang lebih keras tanpa beasiswa daripada mendapat beasiswa dengan kekangan. Sebenarnya kekangan bukan alasan utama, alasan utamanya adalah agar bisa memberikan bakti secara maksimum kepada orangtuanya, baik secara moril ataupun materil.

Akhirnya kami berpisah menuntut ilmu di tempat yang berbeda dan tetap dengan prinsip kami. Belajar dan mengajar.

Bersambung...


Foto: A man from Kiara Jegang, Uci Tarmana a.k.a Miftahuddin Al-Ghazali (Posisi paling kanan)

Buku Menikmati Takdir



Pada setiap perjalanan makhluk pasti terdapat banyak kisah tentang Cinta Allah kepada dirinya. Bagaimana tidak, Allah adalah Sang Maha Adil yang membagikan cinta dengan sama rata kepada makhluk-Nya. Maka setiap insan pasti memiliki warna-warni perjalanan spiritual yang mengesankan.
Buku Menikmati Takdir; Menjadi Muslim Ajaib ini merupakan kaleidoskop eksperiensi hamba-hamba Allah dari kalangan Nabi, Sahabat, Tabi’in dan orang-moyang teladan setelahnya yang telah lulus menikmati takdir hingga. Dalam buku ini pun diselipi coretan juang penulis yang senantiasa berusaha untuk menikmati takdir yang telah Allah tetapkan.
Alasan utama penulisan buku ini adalah dalam rangka mengamalkan ayat terakhir di surat Adh-Dhuha, yakni perintah untuk tahadduts bi an-ni’mah, yakni mengingat-ngingat kebaikan Allah, mensyukurinya, menggali hikmah serta menebarkan nikmat tersebut.
Buku ini awalnya diberi judul “Seni Bersabar dan Bersyukur” karena di dalamnya terdapat kisah-kisah inspiratif tentang kesabaran dan kesyukuran para tetua shaleh umat ini. Tentang bagaimana mereka hidup adalah garis keteladanan yang senantiasa kita pintakan tatkala membaca akhir surat Al-Fatihah di dalam shalat. Maka seyogianya napak tilas kehidupan mereka menjadi “jimat” keselamatan bagi kita agar berada di barisan manusia yang dianugerahi nikmat.
Pengalaman memang bukan dalil yang akan menuai hal serupa ketika diamalkan oleh orang lain. Bisa jadi kenikmatan yang Allah berikan jauh lebih besar atau sebaliknya. Namun pada hakikatnya setiap kebaikan pasti akan Allah balas dengan kebaikan pula. Maka karena itulah tahadduts bi an-ni’mah menjadi sebuah kewajiban yang penting untuk kita amalkan bersama.


Buku The Eschatology



Kajian eskatologi begitu penting bagi kaum Muslimin yang berada di penghujung zaman. Ibarat sebuah perjalanan, disiplin ilmu ini dapat dianalogikan sebagai peta karena berisi gambaran nyata tentang masa depan yang akan dihadapi.
Eskatologi ibarat senjata kaum Muslimin dalam menghadapi huru-hara masa depan, karena di dalamnya terdapat pula petunjuk-petunjuk hidup dari Allah dan Rasul tercinta tentang langkah yang harus kita ambil dalam menghadapi peristiwa mencekam di akhir zaman.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengumpulkan informasi-informasi dari berbagai sumber, lalu menyusunnya menjadi sebuah buku berjudul “The Eschatology”. Sebuah kajian eskatologi Muslim yang merangkum tentang peristiwa sebelum kiamat serta tragedi panjang yang akan dilalui setiap manusia setelah hari kiamat.
Dalam pengumpulan riwayat terkait eskatologi ini, penulis berusaha memilah dan menyeleksi dengan hati-hati serta berusaha untuk memberikan riwayat-riwayat yang shahih (valid) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan buku ini terdapat banyak kekurangan. Namun semoga Allah An-Naafi’ tetap menjadikan buku ini bermanfaat sebagai ilmu dan bahan renungan bagi pembacanya. Aamiin.

Serba-serbi Anak Insting (STIFIn)



Bagaimana Seorang Insting Meningkatkan Kualitas Kepribadiannya
Artikel ini adalah studi eksperiensi tentang bagaimana seorang yang berkarakter insting mencoba mengupgrade dirinya, di tengah-tengah jiwanya yang peragu dan kurang asertif. Buku inipun dibingkai dengan kacamata Islami, sehingga pengarahannyapun menuju keislaman. Karena sebagaimana yang dipaparkan dalam konsep STIFIn, karakteristik Instinc memang hanya mempunyai satu kesesuaian bidang studi, yakni bidang keagamaan.
Chapter I: Apakah itu karakteristik Insting dalam konsep STIFIn?
STIFIn adalah sebuah konsep eksplorasi pencarian kinerja otak yang paling dominan. Hal ini dapat diketahui dengan cara pengetesan sidik jari. Konsep ini ditemukan oleh Farid Poniman. Tugas asasi STIFIn hanya dua hal. Pertama, untuk mengetahui dimana belahan otak yang dominan digunakan oleh seseorang. Kedua, untuk mengetahui lapisan otak yang paling dominan dari belahan otak tadi.
Dalam konsep STIFIn, ada lima karakteristik sifat bawaan yang dominan. Di antaranya sensing, thinking, intuiting, feeling, dan instinc. Dari lima karakter inilah nama ‘STIFIn’ diperoleh, dan dijadikan nama resmi konsep ini.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, instinc adalah salah satu karakteristik dari konsep STIFIn yang paling langka jika dibandingkan dengan karakteristik yang lainnya.
Karakter Instinc mempunyai kemistri bahagia. Artinya karakter ini sangat suka akan kenyamanan, ketentraman dalam hidupnya. Sebaliknya seseorang dengan karakter ini sangat anti dengan perdebatan, permusuhan, dan pertikaian serta berusaha untuk menjauhinya.
Kelebihan karakter instinc adalah mereka mempunyai altruist qoutient (kerelaan berderma dan pengorbanan). Walaupun tanpa timbal balik berupa materi dalam setiap pengorbanannya, mereka akan tetap rela berkorban, karena mereka mencari kebahagiaan. Di antaranya yang paling menonjol adalah kebahagiaan dalam berkorban membantu oranglain. Namun, mereka akan sangat kecewa dan memunculkan sifat buruknya yaitu tempramental tinggi ketika dikecewakan atau tidak dihargai.

Metodologi Pembelajaran Karakter Instinc
1.      Musikalisasi
Karakter mereka yang sangat cinta terhadap simponi keindahan dan ketentraman, membuat mereka sangat lekat dengan irama. Begitupun karakter pembelajaran mereka akan lebih mudah diserap jika dibubuhi dengan irama.
Saya pada mulanya mengalami tingkat kesulitan yang tinggi dalam pembelajaran, terutama pelajaran-pelajaran yang membutuhkan daya ingat yang kuat. Seperti menghafal kosa kata asing, menghafal rumus, menghafal peristiwa sejarah yang harus detail disebutkan beserta tahunnya. Namun setelah saya mengetahui metode pembelajaran karakter insting, pelajaran semakin mudah dipelajari.
Misalnya ketika masa Sekolah Menengah Atas sekitar tahun 2009-2012, pelajaran bahasa inggris berhasil ditaklukan dengan cara menghafal kosa kata melalui bait-bait lagu. Saat itu saya menghafal ratusan lagu dari The Beatles, salah satu grup musik fenomenal beraliran British Rock. Selain itu saya menghafal lagu dari grup musik lainnya, seperti OASIS, Queen, Coldplay, Simple Plan, Secondhand Serenade, dan lain-lain. Setelah itu, tingkat pembelajaran saya melonjak cukup tinggi dan memuaskan.
Tak hanya itu, bahkan satu dayung dua pulau terlampaui. Karena saat itu saya mempunyai cukup banyak hafalan lagu, maka berbagai peluang pun muncul, saat itu saya bergabung dengan beberapa grup musik dan berhasil membuat 5 album lagu. Namun fokus terhadap dunia musik ini kandas, karena ketika masuk ke salah satu perguruan tinggi di Bogor yang bernuansa Islami, saya memilih jalan yang lebih religius yaitu dengan menghafal kitab suci Al-Qur’an.
Itulah yang saya katakan dengan istilah eksplorasi kaum Insting yang serba bisa, mereka bisa memanfaatkan karakter serba bisanya untuk mempelajari beberapa bidang dalam waktu yang sama. Meskipun memang hal ini dapat mengurangi fokus terhadap satu bidang yang digeluti. Namun demikianlah karakter insting.
Kemudian di masa Perguruan Tinggi sekitar tahun 2012-2016, saat itu saya mengambil fokus studi Pendidikan Agama Islam (PAI), karena memang dalam konsep STIFIn jurusan studi inilah yang paling direkomendasikan.
Di perguruan tinggi tersebut terdapat salah satu mata kuliah tahfizh al-Qur’an (hafalan kitab suci al-Qur’an). Pada mulanya saya mengalami berbagai kesulitan, karena pada waktu itu adalah peralihan dari dunia musik ke dalam dunia religi. Sangat terasa betapa sulitnya menghafal al-Qur’an, walaupun Sang Maha Pencipta telah menjamin kemudahan mempelajari al-Qur’an pada empat ayat di dalam al-Qur’an.
Pada masa-masa ini, saya berhasil membangunkan the sleeping giant (sang raksasa potensi yang masih tertidur dan belum terpakai) yakni sisi religius dari karakteristik insting yang melekat sebagai naluri bawaan sejak lahir.

Problematika Yang Biasa Dialami Oleh Karakteristik Instinc
Sebelum menganalisa problematika yang biasa dialami oleh karakter instinc, mari kita mengenal tentang kelebihan dan kekurangan karakter ini. Dengan demikian kita bisa mengetahui sisi-sisi masalah yang dimiliki oleh karakter ini.
Dalam buku resmi STIFIn disebutkan bahwa kelebihan karakter insting yang pertama adalah memiliki jiwa spiritual yang tinggi, bahkan satu-satunya kesesuaian jurusan dan karir untuk karakter insting adalah jurusan keagamaan. Namun sekolah dibalik sifat religiusnya, karakter insting menyimpan amarah tempramental tinggi.
Kemudian kelebihan karakter insting yang kedua, mereka memiliki ketajaman firasat. Namun kekurangannya, mereka adalah peragu dan tidak punya prinsip yang kuat.
Kemudian kelebihan yang ketiga, dalam penelitian konsep STIFIn disebutkan bahwa karakter insting serba bisa dalam segala hal. Namun kekurangannya, mereka sangat susah sekali untuk menjadi pakar dalam bidang tertentu. Namun, karena banyaknya keahlian yang mereka miliki kurang fokus menggarap suatu bidang. Karakter mereka yang serba bisa dapat kita lihat pada tabel peringkat kesesuaian jurusan di perguruan tinggi, hampir seluruh karakter Instinc berada pada skor pertengahan.


Menghafal Al-Qur’an VS Menghafal Lagu; Sebuah Distingsi


Pernah terlontar sebuah pertanyaan . . .

Pertanyaan: Terkadang ketika saya belajar dengan alunan musik saya bisa menikmatinya dan mempercepat daya serap saya terhadap pelajaran. Berbeda ketika saya mendengarkan al-Qur'an ketika belajar. Saya sulit menikmatinya. Malah sebaliknya, seringkali saya bosan dan tidak memberikan efek positif terhadap daya serap belajar, padahal keduanya sama-sama mempunyai irama yang pada dasarnya disukai oleh kaum instinc. Mengapa bisa demikian? Sebagai seorang Muslim, saya ingin sekali memecahkan kesenjangan ini. Tq!

Jawaban: Memang perpindahan dari musik kepada al-Qur’an ini terasa sulit dan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Mungkin alasannya karena kedua hal ini sangat bertolak belakang, terutama jika kita menggunakan pisau bedah syari’at.

Di dalam ajaran Islam, problematika musik menuai perdebatan yang panjang. Ada sebagian kalangan yang memperbolehkan dengan berbagai syarat serta ketentuannya dan adapula kalangan yang melarang secara mutlak. Keduanya mempunyai argumentasi tersendiri.

Dalam menyikapi hal ini, saya mendapatkan solusi yang berasal dari pengalaman pribadi dan dari hasil sharing dengan sesama kaum Instinc. Di antara mereka ada yang mengalami kesulitan untuk menikmati lantunan al-Qur’an dan beranggapan bahwa belajar disertai lantunan musik tidak senikmat belajar dengan iringan al-Qur’an. Bahkan ketika belajar disertai al-Qur’an terkadang mengganggu tingkat konsentrasi belajar. Padahal kita mengetahui bahwa antara musik dan al-Qur’an terdapat satu kesamaan, yaitu adanya irama. Lantas mengapa terjadi kesenjangan antara keduanya.

Menurut saya, kesenjangan itu terjadi karena adanya campur tangan makhluk yang tak kasat mata. Kaum Muslimin berkeyakinan bahwa mereka mempunyai musuh abadi di dalam kehidupannya, yaitu setan. Maka, hal ini pun menjadi salah satu alasan kurangnya kenikmatan dalam mendengarkan al-Qur’an. Karena setan akan selalu berusaha menjerumuskan anak cucu adam, termasuk menjauhkan manusia dari cinta terhadap al-Qur’an. Sebaliknya setan memperindah musik untuk menggiring manusia untuk meninggalkan al-Qur’an. Itu jawaban dari kacamata Islami, yang hanya dapat diakui kebenarannya dengan iman.

Sedangkan dari argumentasi logis, kesenjangan tersebut terjadi karena kurangnya interaksi antara si pendengar dengan lantunan al-Qur’an. Kuantitas interaksi antara dirinya dengan al-Qur’an tidak sebanyak interaksinya dengan musik. Hal ini sangat wajar, karena di era modern ini musik menjadi tren yang digunakan dalam berbagai hal. Contohnya di dalam lagu kebangsaan, iklan promosi, game, tanda panggilan di telpon seluler, media massa, dan lain-lain.

Cara mengatasinya agar dapat menikmati al-Qur’an lebih dari lagu adalah dengan cara berdo’a kepada Allah untuk lebih dapat menikmati al-Qur’an. Kemudian adalah dengan lebih dekat dengan memperbanyak interaksi dengan al-Qur’an. Memang terkadang kita mengawalinya dengan pemaksaan diri yang sangat tidak disukai oleh kaum Instinc. Namun, berdo’alah agar dikuatkan oleh Sang Maha Pencipta, kemudian bertahanlah dalam menempuh tekanan itu. Maka dengan izin Allah dalam waktu tertentu kita dapat menikmati al-Qur’an lebih dari musik. So, let it be!

Satu hal lagi pengalaman berharga yang pernah dilalui oleh saya, ketika baru saja memasuki jenjang strata satu. Saat itu berbagai tekanan pun muncul, terutama program hafalan wajib satu lembar perhari. Pada awalnya hal ini cukup menyiksa dan saya termasuk orang yang menjalaninya dengan penuh tekanan. Berbagai usaha sudah diupayakan. Di antaranya dengan menghafal pada sepertiga malam, menghafal sepanjang malam hingga menjumpai adzan shubuh atau terkapar di pojok masjid karena kelelahan menghafal.

Upaya-upaya itu pernah ditempuh dengan penuh semangat dan optimis. Namun tetap saja saya belum dapat menikmatinya. Sampai-sampai karena tidak bisa mengejar target, saya pernah mendapatkan sebuah kritik dari hasil perjuangan saya yang hampir menemui tembok putus asa.

Hal itu disampaikan oleh salah satu pembimbing hafalan al-Qur’an di kampus. Ia mengatakan: “Khalid, sebaiknya kamu tidak usah memaksakan untuk menghafal! Saya khawatir dengan psikis kamu yang berusaha maksimal, namun sangat minim sekali hasil yang didapat. Kalau dipaksakan, saya khawatir kamu menjadi stress karena putus asa.”

Nasihat yang pernah dilontarkan oleh salah satu pembimbing tahfizh di atas merupakan sebuah bukti tentang buruknya performa hafalan saya di masa lalu. Namun, Alhamdulillah akhirnya beberapa bulan kemudian saya mendapatkan metode tersendiri yang memang sangat cocok diterapkan oleh seorang instinc. Yaitu dengan memusikalisasi al-Qur’an atau membumbui lantunan suci dengan irama yang merdu. Saat itu, saya sangat tertarik dengan irama murottal Syaikh Mishary Rasheed Alafasy Al-Kuwaity.

Menurut saya, beliau adalah seorang Qori’ (pembaca al-Qur’an) yang paling merdu di antara Qori’ lainnya di seluruh dunia. Beliau mampu memberikan irama yang sangat serasi ketika membaca al-Qur’an. Misalnya, ketika terdapat ayat-ayat yang bernuansa do’a (permintaan hamba kepada Allah), maka beliau membacanya dengan nada yang penuh pengharapan. Kemudian, ketika suatu ayat mengandung pertanyaan, beliau membacanya dengan nada pertanyaan. Begitu pula pada ayat-ayat perintah, permisalan, kisah, dan lainnya beliau membacanya sesuai dengan nuansa yang terdapat pada ayat tersebut.

Oleh karena itu, saya menjadikannya sebagai panutan dalam hal memperindah bacaan al-Qur’an. Bahkan, hingga saat ini pun masih selalu memburu setiap bacaannya. Karena sebagai seorang instinc yang telah lama berada di dalam dunia musik, hal seperti itu sangat membantu dan mempercepat proses pembelajaran. Hal ini sebagaimana diterangkan di dalam konsep STIFIn, bahwa jurusan musik adalah jurusan kedua paling cocok bagi kaum instinc. Karena itulah, kunci sukses menghafal al-Qur’an bagi kaum instinc adalah dengan cara menerapkan irama ketika membaca, menyetor, hingga mengulang hafalan. Bahkan beberapa bulan kemudian setelah menemukan metode ini, hanya cukup dengan mendengarkan al-Qur’an sepanjang malam secara berulang-ulang (refeat one) dengan menggunakan MP3 dan headset hingga tertidur, dengan kemudahan dari Allah di pagi harinya saya sudah hampir menghafal ayat-ayat yang diulang tersebut. Sekalipun melalui malam tersebut dengan tidur yang lelap.

Itulah awal yang baru bagi saya yang menjadi titik utama kesuksesan dalam menekuni tahfizh (menghafal al-Qur’an). Sejak saat itu, kemudahan demi kemudahan pun terus bergulir da waktu terus berjalan detik demi detik. Beberapa bulan kemudian, saya sudah dapat membaca al-Qur’an sesuai dengan tajwid dan tahsin. Demikianlah kaleidoskop perjuangan saya dalam mengarungi badai peralihan dari musik menuju al-Qur’an. Dibutuhkan kesabaran demi kesabaran, lalu kembali menguatkan kesabaran, hingga Allah memberikan kemudahan.

Jadi, memang terdapat faktor satani yang berusaha menjegal peralihan dari musik menuju al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang dapat memperkokoh antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Sedangkan musik pada hakikatnya hanya akan memperlemah tali simpul kokoh keimanan seseorang. Ketika sibuk mendengarkan musik, seseorang cenderung lalai kepada Allah dan tenggelam dalam pusparagam emosi dan nafsu manusiawi. Sedangkan, setan telah mempertaruhkan seluruh hidupnya hanya untuk menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Maka, masuk akalkah jika setan akan membiarkan begitu saja ketika seorang hamba Allah hendak berhijrah dari dunia musik menuju kitab suci Ilahi? Tentu tidak!

Perubahan, Sebuah Kode Cinta Ilahi



Kehidupan selalu diwarnai oleh perubahan-perubahan. Terkadang kita harus meninggalkan zona nyaman menuju zona baru yang belum kita ketahui ke depannya akan seperti apa. Kau tahu rasa pahit? Terkadang ia pun turut bersembunyi di balik fenomena perubahan itu. Jauh dari orangtua dan keluarga, meninggalkan sahabat dan rekan kerja, jauh dari kampung halaman dan selainnya adalah contoh rasa pahit yang seringkali dialami. Tapi pahitnya perubahan seringkali seperti pahit kopi yang terdapat kelezatan di balik pahit-pekatnya. Itulah kehidupan.

Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Hal ini adalah sebuah konsekuensi logis alamiah yang telah diketahui oleh manusia sejak dahulu, namun tetap saja pahit itu tak bisa dibendung ketika perpisahan terjadi. Namun sekali lagi, itulah kehidupan. Pada hakikatnya, mau tidak mau, kita harus melewati episode demi episode yang telah ditetapkan Sang Ilahi dengan rahmatnya. Lintasan takdir itu sudah terancang dengan kokoh dan sempurna. Tugas kita adalah berusaha mereguk hikmah di balik episode-episode itu.

Menyikapi hal ini, kita perlu meniliknya dengan kacamata iman. Tatkala menginjak perubahan kita harus meyakini bahwa orang yang kita tinggalkan ada yang menjaganya, yang bahkan rasa sayangnya bermilyar kali lipat daripada rasa sayang kita. Demikian juga ketika kita meninggalkan, kita pun harus yakin bahwa di belahan dunia manapun kita berada, selalu ada Sang Ilahi yang sangat menyayangi kita, dan Dia selalu mengawal dan melindungi kita dengan kasihsayang-Nya. Kenyataan seperti ini disebut dengan hakikat yang sebenarnya, sekalipun seringkali akal dan perasaan menyangkalnya.

Dalam ajaran Islam, wahyu harus berada di atas akal dan perasaan. Seandainya kita bisa menancapkan keyakinan ini, maka akan ada kedamaian hakiki yang bersemayam di dalam relung hati kita. Pendirian kita tidak akan rancu dan simpangsiur. Kita akan lebih merasa tentram, karena di atas penjagaan dan rasa sayang kita yang sangat terbatas, ada Maha Penjaga dan Maha Penyayang yang tak pernah lalai menjaga seluruh makhluk-Nya walaupun hanya 1 milidetik. Berharaplah hanya pada-Nya dan serahkanlah hanya pada-Nya, sebagaimana term Muslim (orang yang berserahdiri) yang telah tersemat dalam jiwa kita.

Pengamalan pribadi yang telah saya amalkan dalam hal ini adalah penyerahan apapun yang saya punya kepada Allah ketika hendak tidur. Hal ini dilakukan setelah saya berikhtiar maksimal dalam self defense. Misalnya, sebelum tidur saya selalu berujar “Yaa Allah, kutitipkan Imanku, nyawaku dan istriku, seluruh keluargaku dan seluruh harta yang telah Engkau amanahkan kepadaku. Kutitipkan kepada-Mu yaa Allah. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi Rasa Aman.”

Atau ketika memastikan kendaraan sudah terkunci ganda (keamanan maksimal), saya kembali berujar “Yaa Allah, sesungguhnya aku menitipkan kendaraan ini dan Engkau adalah sebaik-baik Pemberi Rasa Aman.” Maka setelah melakukan ikhtiar dan do’a, secara otomatis ada rasa aman yang lebih maksimal dari Sang Maha Pemerhati.

Jadi intinya adalah sebuah keyakinan. Ketika keyakinan sudah terpatri dalam diri tentang kepastian adanya cinta dari Sang Ilahi. Seperti perkataan khalilullah Ibrahim ‘alaihissalam ketika tengah diusir oleh ayahnya, sang khalil berkata “Keselamatan bagimu wahai ayahku tercinta, aku akan terus memintakan ampunan bagimu kepada Allah, sesungguhnya Dia benar-benar sangat sayang kepadaku.” Keyakinan tentang kepastian kasih sayang Allah ini mendorong sang khalil menjadi tidak takut kepada siapapun. Sampai beliau berani membangkang kepada Namrud, raja Babilonia di masanya. Dan takdir yang terjadi, kemenangan ada di tangan sang khalil, sampai Namrud merasa putus asa dan membangun menara babel yang menjulang menantang Tuhannya Ibrahim, sampai akhirnya Allah hinakan Namrud dengan seekor lalat/nyamuk.

Sekali lagi. Ini adalah masalah keyakinan, tentang sejauh mana kita meyakini eksistensi cinta Ilahi dan mengekang akal dan perasaan yang seringkali disesatkan oleh setan.

Untuk anda yang sedang berada pada dilema perubahan, jangan pernah takut. Karena selalu ada Allah yang siap mengajar dan membimbing setiap langkah kita. Kita adalah hamba-Nya, maka berlakulah sebagaimana hamba sahaya yang menagih simpati tuannya, patuhilah Dia. Niscaya Dia akan selalu menyayangi kita.
Yakinilah! Seandainya Allah mentakdirkan sebuah perubahan pada diri kita (dan itu lebih baik di sisi-Nya), sebenarnya Allah ingin mengajarkan tentang keimanan dan kehidupan pada perubahan tersebut, bisa oleh bimbingan maknawi diri-Nya sendiri atau melalui hamba-hamba shaleh yang Dia pilih.

Saya pun berkeyakinan seperti itu, “Tidaklah Allah mentakdirkan aku berpindah ke bagian bumi yang lain, kecuali ada yang ingin Dia ajarkan di sana.”

Dulu lima tahun di Bogor, Allah mengajarkan saya tentang berbagai hal ilmu keislaman, kemudian kembali ke kampung halaman, Allah mengajarkan saya untuk membangun jiwa sosial yang baik dengan masyarakat dan berkontribusi mengamalkan didikan-Nya selama di Bogor, kemudian sekarang kembali berkelana ke ujung bagian barat Pulau Jawa (Serang-Banten), saya pasrahkan diri dan bersiap menanti ajaran berikutnya, dari Dia Sang Maha Cinta. Allahu Rabbul ‘Aalamiin.

Terakhir, ingatlah bahwa penghalang yang selalu digunakan setan untuk menghalangi kita adalah akal dan perasaan. Keduanya seringkali membuat kita ragu tentang wahyu atau sabda. Keduanya selalu berusaha membantah wahyu dan menimbulkan keraguan. Maka berhati-hatilah terhadap keduanya. Utamakan wahyu di atas keduanya, niscaya kita akan bahagia in syaa Allah. Bahagia dalam dimensi iman Cinta Ilahi.

Untukmu Yang Sedang Putus Asa



Inspirasi Lagu Best Fate

Entah mengapa satu tahun terakhir ini saya selalu berpikir tentang dunia dan kedamaian. Mungkin insting perdamaian ini tumbuh dengan sendirinya seiring dewasanya akal dan pikiran seseorang. Setelah membuat lagu “Heal & Peace” lagu perdamaian selanjutnya yang saya buat berjudul “Best Fate”. Berdamai dengan diri sendiri, dengan takdir yang menimpa kita, baik ataupun buruk.

Lagu ini terinspirasi dari pengalaman hidup saya sendiri, tentang bimbingan ilahi yang tak jemu merangkul jiwa. Terkadang saya merasa berada pada lintasan yang salah, tapi setelah itu Allah memberikan jalan terang dan memberitahu bahwa saya sudah berada di jalan yang tepat. Merasa salah jurusan dan metode belajar, namun Allah menyadarkan kembali  untuk ke sekian kalinya bahwa saya sudah benar. Ilmu psikologi karakter telah menjawabnya.

Maka semenjak itu saya berpikir bahwa apapun yang kita alami adalah takdir terbaik di sisi-Nya. Tugas kita hanyalah berusaha mensyukuri dan bersabar terhadap apapun itu. Ingat! Takdir terbaik itu tidak mesti selalu indah, terkadang pula ada takdir yang buruk, bahkan tak pernah diharapkan oleh seluruh manusia, tapi sebenarnya itulah takdir terbaik dari sisi Allah untuk kita, tugas kita hanyalah bersabar.

Ilmu, hikmah dan kebijaksanaan-Nya telah melampaui sesuatu yang kita sebut keburukan. Takdirnya selalu baik, sekalipun bertabrakan dengan perasaan, akal dan logika kita yang lemah. Percayalah, apapun yang menimpa kita pada hakikatnya adalah kasih sayang dari-Nya. Kita hanya perlu menguatkan ikat pinggang syukur dan sabar seiring dengan jatah usia yang diberikan-Nya. Bersyukurlah terhadap karunia-Nya dan jangan pernah putus asa terhadap ujian dari-Nya.


Antara Aku Dan Badiuzzaman: Sosok Syaikh Nursi Dalam Nyata



Kembali ke skripsiku. Akhirnya setelah melewati beberapa revisi, ditentukanlah sidang munaqosyah. Dari sekian banyak teman seangkatan, aku yang pertama kali disidang, karena memang selesai lebih awal.

Alhamdulillah sidang berjalan dengan baik. Namun yang menjadi sorotan utama bukan isi skripsinya, tapi tokohnya. "Mengapa memilih Said Nursi?". Pertanyaan yang cukup sulit mengingat tokoh yang kuangkat, background pemahamannya berbeda dengan background kampusku.

Tapi dengan jawaban jujur apa adanya plus tidak banyak bela diri, akhirnya sidang selesai. Ini tips jitu yang diajarkan dosen agar tidak babak belur ketika sidang skripsi. Caranya simpel, jangan banyak membantah dan iyakan saja.

Beberapa waktu pun berlalu. Hingga singkat cerita aku kembali ke kampung halaman, membuka episode baru. Dan entah mengapa dalam 3 tahun terakhir ini kata "Nur" terasa melekat dengan kehidupanku. Sesuatu yang paling besar adalah ketika Alloh mempertemukanku dengan Ustadz Nur beserta keluarga Nur.

Ayahnya adalah Syaikh Arifin Hafizhohulloh. Semua anaknya dinamai Nur. Hal ini terasa ajaib bagiku yang baru saja mendapat do'a-do'a dari para pelajar Risalah Nur. Jadi, dalam kitab-kitabnya ada sebuah amanat khusus kepada para pembacanya, Syaikh Nursi berkata bahwa pelajar Risalah Nur bersaudara dan harus saling mendo'akan. Syaikh Nursi pun di masa hidupnya pernah berdo'a agar pembaca kitabnya sampai hari kiamat diberikan kebaikan sebanyak huruf dalam kitab-kitab Risalah Nur.

Memang ketika seseorang sudah meninggal, ia tidak akan dapat memberikan kebaikan sedikitpun. Tapi hal ini berbeda karena Syaikh Nursi berdo'a kepada Allah ketika beliau hidup. Selain itu, beliau meninggalkan amal jariyah yang tak terputus, yakni ilmu yang bermanfaat.

Kembali ke Ustadz Nur. Beliau adalah sosok yang berpaham muwazzanah, tidak mudah menyalahkan jamaah lain dan tidak merasa benar sendiri. Sebaliknya, selama seseorang itu Muslim, maka beliau sangat menghormatinya.

Mengenal dan dekat dengannya, saya terasa berguru kepada Syaikh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah. Karena karakter keduanya banyak kemiripan. Pertama, Al-Ustadz adalah orang yang gemar membaca kitab Ibnul Qoyyim, kedua, sama-sama menguasai thibbunnabawi terutama obat herbal. Beliau memiliki perusahaan herbal dan meracik obat sendiri, karena disiplin ilmu yang beliau pelajari ketika kuliah di ITB tahun 1983 adalah herbal juga. Dan kemiripan yang ketiga adalah sama-sama banyak mengajarkan tentang manajemen hati. Bagaimana menata hati agar lebih halus, selangkah lebih dekat dengan qolbun salim-nya Ibrohim Al-Kholil alaihissalam. Kiat melunakkan hati agar tidak memandang sebelah mata kepada Muslim yang lain.

Ada banyak hal yang kepelajari dari beliau. Terutama tentang bagaimana bersikap dan menyikapi sesama Muslim di zaman ini. 

Bisa dibilang, beliau adalah salah satu Murobbi juga ayah angkatku. Murobbi dengan konteks yang lebih nyata, terutama sebagai pendidik dan pemberi fasilitas. Selama 2 tahun terakhir, aku diamanahi untuk menjaga rumahnya beserta berbagai fasilitas yang sudah ada, beliaupun memberikan segenggam uang bulanan yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dan yang paling penting adalah didikan praktik dakwah yang selama ini kusampaikan di berbagai majelis ta'lim. Sangat bermanfaat sekali di dunia dan akhirat. Demi Allah! Aku mencintai beliau karena Allah. Semoga Allah memasukkannya ke surga beserta keluarga dan orang-orang yang dikenalnya. Aamiin.

Beliau banyak mendidik tentang bagaimana berdakwah secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Mendidikku untuk khutbah jum'at, mengisi kajian-kajian, bersafar tarbawi, dialog-dialog fiqih ikhtilaf, dan lain sebagainya.

Akhirnya di awal 2019 aku berpamitan kepada beliau, meminta izin untuk berjalan di belahan muka bumi yang lain untuk mengamalkan sedikit ilmu yang Alloh ajarkan melalui beliau. Dengan mengekang rasa rindu kepada orangtua, beliau dan kampung halaman, aku harus melanjutkan hidup di tempat yang lain. Berusaha untuk beranjak dari convert zone, demi lebih mandiri dan bisa berbakti kepada orangtua dengan cara berdikari.

Selalu ku ucapkan dan kuyakini, "Tidaklah Alloh mempertemukanku dengan oranglain, kecuali agar aku bisa belajar kepadanya." Ustadz Nur adalah satu dari pusparagam Romansa Robbani yang Alloh berikan kepadaku. Semoga beliau disehatkan selalu dan diberi istiqomah.

Aku harus melanjutkan hidup! Lebih bergantung kepada Ash-Shomad, Robbul 'Aalamiin. Itu wasiat terbesar beliau yang akan selalu kuingat.