A Man From Kiara Jegang
Nikmat terbesar setelah anugerah keislaman adalah berteman dengan orang shalih. Demikian perkataan Nidaime Khalifah, Umar bin Al-Khattab r.a.
Perkataan ini sangat benar dan bisa ditelisik baik secara logika ataupun praktik di kehidupan nyata.
Hal ini kualami ketika berada di jenjang SMA, masa ketika angan dan nafsu jauh berada di atas logika dan realita. Masa ketika akal 70% berada di alam imajiner.
Saat itu seperti remaja lainnya, jiwaku tergiring oleh gaya kehidupan hasil desain Barat. Lebih hafal lagu-lagu Barat daripada Al-Qur'an dan lebih bangga memakai pakaian ala Barat daripada baju gamis. Serta lebih senang berjingkrak ria di studio musik dan di live concert daripada pergi ke masjid. Kira-kira begitulah potret default gaya hidup remaja era 2009-2012an, termasuk aku.
Di akhir masa SMA, tepatnya kelas 12 tiba-tiba Allah menghadirkan seseorang yang disebut teman shaleh, Uci Tarmana namanya. Seorang remaja aneh yang banyak menghabiskan sore untuk mengajar ngaji anak TK dan menghabiskan malam untuk bekerja serta beribadah. Saat SMA dia menetap di masjid sekolah karena rumahnya yang cukup jauh dan terpencil di sebuah dusun bernama Kiara Jegang.
Aku mengenalnya sejak kelas 10 mula. Dialah orang tak dikenal yang pertama kali menyapaku. "Alhamdulillah. Ada teman baru nih, Yu." Ucapnya kepada Wahyu, salah seorang teman shalihku yang lain.
Tapi simpatiku kala itu sedikit dingin karena memang berbeda haluan dengan kehidupannya yang nyantri 100%. Berjalanlah roda alam semesta selama satu tahun, dan kami hidup pada jalan masing-masing.
Hingga suatu hari, entah mengapa di balik riuhnya kehidupan anak band yang katanya menjanjikan kelezatan jiwa itu, tetiba aku merasa jenuh. Hatiku tak bisa sembunyikan kehampaan. Saat itu temanku menyapaku, lalu mengajakku untuk menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan shalat dhuha di Masjid Agung Tanjungsari. Saat itu aku mencoba mengiyakan.
Sebenarnya walaupun hobi ngeband, aku bukan remaja yang terlalu dungu terhadap agama. Sisa-sisa pengembaraan masa lalu di pesantren Al-Bithonah membentukku menjadi seorang mufti kelas, setidaknya ketika ujian pelajaran keagamaan berlangsung.
Namun masalah praktik/pengamalan, temanku yang shaleh ini jauh berada di depanku. Dia remaja yang aneh, tak seperti yang lain. Ketika mendengar lantunan "How many live are living strange.", yang dinyanyikan oleh Liam Gallagher, seringkali potret temanku ini bertebaran di pikiranku menjadi sosok percontohan.
Sepulang dari masjid agung aku merasakan kelezatan baru yang berbeda. Bukan kelezatan sensasional yang menggelora lalu hilang seketika. Akhirnya aku kecanduan dan sering mengabiskan waktu dengan aksi berfaedah tersebut.
Beberapa bulan sebelumnya salah seorang komplotan Rohis bernama Deza pernah menyapaku ketika mampir ke masjid seusai olahraga di alun-alun. Sambil canda penuh keakraban ia berceloteh, "Lid, kemana? Ayo shalat dhuha dulu! Jangan sampai ke masjid cuma numpang pipis doang. Haha!" Lama-lama candaan itu kepikiran juga.
Setelah itu kharisma anak band yang dahulu terpancar perlahan sirna. Alam pikirku berevolusi dan berpindah haluan. Aku turut rutin menghabiskan waktu istirahat pagi untuk ke masjid dan melaksanakan shalat dhuha.
Di akhir masa SMA, entah mengapa aku menjadi semakin dekat dengan teman Kiara Jegangku ini. Terutama ketika sama-sama berjuang mencari beasiswa ke luar kota.
Maret 2012 kami bertolak ke kota hujan, Bogor. Melewati kota demi kota hingga tersesat di daerah Parung, padahal tujuannya adalah ke Tamansari.
Singkat cerita, kami melewati beberapa tahapan tes dari mulai ideologi, psikologis, fisik hingga pengetahuan umum. Setelah 3 hari diterpa dengan berbagai tes akhirnya kami dinyatakan lulus dan mendapatkan beasiswa full S1.
Beberapa bulan kemudian teman sholehku ini memutuskan untuk keluar. Dia tidak kuat dengan gaya kehidupan di Bogor. Dia lebih memilih berjuang lebih keras tanpa beasiswa daripada mendapat beasiswa dengan kekangan. Sebenarnya kekangan bukan alasan utama, alasan utamanya adalah agar bisa memberikan bakti secara maksimum kepada orangtuanya, baik secara moril ataupun materil.
Akhirnya kami berpisah menuntut ilmu di tempat yang berbeda dan tetap dengan prinsip kami. Belajar dan mengajar.
Bersambung...
Foto: A man from Kiara Jegang, Uci Tarmana a.k.a Miftahuddin Al-Ghazali (Posisi paling kanan)


0 komentar: