Telaah Primordial Hingga Eksplorial Buku Filsafat Ilmu Karya Dr. Adian Husaini, et. al.
Judul Buku: Filsafat
Ilmu; Perspektif Barat dan Islam
Penulis : DR. Adian
Husaini, et. al.
Penerbit : Gema Insani
Jumlah Halaman : xxviii
+ 292 = 320 hlm
Tahun Pertama Terbit :
2013
Sebelum menjadi sebuah buku dengan ketebalan 2cm sesungguhnya pada awalnya
buku ini merupakan 12 makalah berbeda yang sama-sama berfokus pada satu titik
pergulatan yakni menggulati filsafat ilmu. Oleh karena itu nama penulis utama
diakhiri dengan et. al. (and another) yang artinya ‘dan kawan-kawan’.
Para pemakalah yang berkontribusi dalam buku ini antara lain: Dr. Adian
Husaini, Dr. Syamsuddin Arif, Dr. Nirwan Syafrin, Dr. Ahmad Alim, Dr. Dinar
Dewi Kania, Adin Armas M.A., Nashruddin Syarif, M.Pd.I., dan Ir. Budi
Handriyanto, M.Pd.I. Mereka adalah para pakar pemikir Islam yang sangat kritis
dan ilmiah dalam menjernihkan kembali tradisi keilmuan Islam. Jumhur
para penulis buku ini tergabung sebagai tokoh penting di INSIST (Institute for
Study of Islamic Thought and Civilization) Jakarta dan sebagiannya adalah
lulusan ISTAC-IIUM. Dari background pendidikan dan pemikirannya sudah barang
pasti bahwa buku ini memperjuangkan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Berlanjut kepada isi buku, secara garis besar buku ini mengajak kita untuk
melek sama-sama memperjuangkan terwujudnya Islamisasi ilmu pengetahuan,
khususnya dalam filsafat ilmu, atau lebih wisdomnya untuk mengimbangi dan
meluruskan filsafat ilmu yang saat ini sudah terhegemoni oleh sekularisme stadium
akhir yang mengarah pada penolakan agama dari kehidupan.
Buku ini terbilang cukup berani, menyuarakan untuk kembali kepada
metodologi pemikiran Islam yang benar di tengah carut marut buku-buku filsafat Islam lainnya
yang sarat dengan tradisi keilmuan dunia Barat, bahkan telah tergenggam oleh
alam pikir Barat. Di tengah realita keterpurukan metodologi alam pikir
universal ini buku ini justru berupaya untuk merenaisanisasi ilmu kedalam
matodologi Islam sejati dengan mendatangkan sejumlah bukti kecemerlangan tradisi
keilmuan dalam Islam dan mengungkap betapa rapuh dan lemahnya metode keilmuan
Barat melalui kritikan-kritikan yang sangat ilmiah dan objektif.
Pembahasan filsafat ilmu dalam buku ini sangat komprehensif dan urgen
diantaranya tentang sekularisasi ilmu, filsafat Islam dan tradisi keilmuan
Islam, urgensi epostemologi Islam, konsep ilmu dalam Islam, mendefinisikan dan
memetakan ilmu, objek ilmu dan sumber-sumber ilmu, prinsip-prinsip dasar
epistemologi Islam, Konstruk epietemologi Islam: telaah bidang fiqih dan ushul
fiqih, metodologi ilmiah dalam Islam, ilmu dan adab dalam Islam, makna “adab”
dalam prespektif pendidikan Islam, dan
diakhiri dengan muara pembahasan yang menjadi tujuan akhir buku ini yakni
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Bagian pertama membahas tuntas tentang sekularisasi ilmu, bab ini sangat
penting dipahami dari awal karena aimnya adalah untuk menelanjangi akar sejarah
sekularisme ilmu di dunia yang dipelopori oleh tiga hirearki helenik
(Socrates-Plato-Aristoteles) yang mana sekularisme ini kian tersaktikan dengan
wajah westernisasi terutama ketika kaum Iberia memasuki abad renaisans dan
seolah-olah menjadi founding father sains dan teknologi modern.
Bagian kedua berjudul filsafat Islam dan tradisi keilmuan Islam yang
ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif dan Dr. Dinar Dewi Kania. Secara garis besar
bagian ini menjelaskan bahwa filsafat dalam agama manapun merupakan sebuah
keseyogiaan, karena filsafat adalah pencarian kebenaran, dan tentunya kaum
rohaniawan adalah para pencari kebenaran. Selain itu bab ini menjelaskan
tentang alur tradisi keilmuan Islam terkhusus sebagian besar Bangsa Arab yang
pada awalnya hidup dengan moral yang menjijikan dan dalam kurang waktu satu
abad setelah diutusnya Rosululloh ﷺ mereka menjadi populasi maju berkarakter dan berakhlak
bagaikan malaikat hingga kurun-kurun setelahnya, begitupula pada periode kekhilafahan
di masa pertengahan (Abad 8-13 M) dimana kaum Muslimin menjadi pelita terang
dan jantung ilmu pengetahuan. Namun memasuki abad 20 ini kaum Muslimin telah lupa
tentang rahasia kejayaan mereka di masa lalu, mereka telah jauh meninggalkan
estafeta kemuliaan tradisi ini.
Kemudian di bagian ketiga yaitu urgensi epistemologi Islam yang ditulis
oleh Dr. Adian Husaini yang membahas tentang pentingnya bagi kaum Muslimin
mencari ilmu dengan epistemologi Islami yang telah disepakati oleh para ulama
dengan memperhatikan adab, ushul fiqih, sejarah, dll yang akurat dan tidak
menyelisihi sunnah.
Setelah kita mampu menggali ilmu berdasarkan epistemologi Islami ini maka
kita akan dapat menemukan tujuan yang hakiki dalam pencarian ilmu yakni untuk
lebih mengenal Allah ﷻ dengan segala
keagungan dan kemuliaan-Nya yang tentu berbuah pada ketakwaan dan keimanan
kita. Bercermin kepada masa lalu, Islam akan jaya dan perkasa ketika
epistemologi yang diamalkan adalah epistemologi Islami. Tak hanya menjadi
pemecah masalah bagi masalah internal, bahkan masalah eksternal diluar Islampun
dapat diatasi, sebagaimana yang telah terjadi pada masa lalu.
Selanjutnya pada bagian keempat berjudul konsep ilmu dalam Islam yang
ditulis oleh Nashruddin Syarif, M.Pd.I yang membahas tentang confusion
(kekacauan) yang sedang banyak terjadi dan dijadikan trendi intelektual yakni spesialisasi
ilmu, dimana para sarjana Muslim banyak yang kurang paham agama lantaran dia
mahasiswa kimia misalnya, padahal menggali ilmu agama adalah prioritas utama
dan wajib dimiliki oleh setiap Muslim, terutama kaum intelektual yang notabene
dengan ilmu.
Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. Dalam Islam ilmu yang logis-empiris dan
yang sifatnya wahyu (revelational) keduanya adalah sesuatu yang ilmiah. Yang
dikenal hanya klasifikasi (pengelompokan) dan diferensiasi (pembedaan), bukan
dikotomi yang dikenal di dunia Barat.
Bagian kelima dalam buku ini berjudul ‘mendefinisikan dan memetakan ilmu’
yang ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif. Bagian ini mengajak kita untuk memeriksa
ulang konsep ilmu dalam Islam, dengan memusatkan perhatian kepada bagaimana
ilmu dipahami dan dipetakan oleh para ulama dari berbagai aliran pemikiran
selama rentang ratusan tahun.
Dilanjutkan pada bagian keenam dengan judul objek ilmu dan sumber-sumber
ilmu yang ditulis oleh Dr. Dinar Dewi Kania. Bagian ini wajib dicerna oleh para
pencari ilmu karena merupakan hal yang mendasar. Dalam bahasan ini kita
diharapkan bisa mengkaji ilmu secara mendalam dan sistematis. Tak hanya ilmu
bahkan kriteria-kriteria dalam perolehannya dengan keterbatasan-keterbatasannya
serta cara menjustifikasi ilmu tersebut yang dikenal dengan istilah
‘epistemologi’ (segala sesuatu mengenai proses yang terlihat dalam usaha
manusia dalam memperoleh ilmu).
Sumber ilmu dalam Islam adalah Sang Maha Pencipta itu sendiri. Banyak ayat
dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah ﷻ
Maha mengetahui terhadap segala sesuatu baik yang tampak ataupun ghaib. Maka
sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa yang dijadikan sumber-sumber ilmu dalam
Islam adalah apa-apa yang diberikan oleh Allah ﷻ
yang bersifat wahyu seperti kitab-kitab-Nya terutama Al-Qur’an, Hadits-hadits
nabawi, dan yang bersifat
empiris-rasional seperti akal dan qalbu.
Di bagian ketujuh yang berjudul prinsip-prinsip dasar epistemologi Islam
oleh Dr. Syamsuddin Arif. Dalam pembahasan ini penulis mengajak kita untuk
memahami kembali prinsip-prinsip (ushul) dan dasar-dasar (mabadi’) epistemologi
Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu (salaf) dan golongan
ahlussunnah wal jama’ah yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Shohihah.
Selanjutnya di bagian kedelapan ditulis oleh Dr. Nirwan Syafrin dengan
judul ‘konstruk epistemologi Islam: telaah bidang fiqih dan ushul fiqih’. Dalam
sajian materi ini penulis mencoba mengeksplorasi konstruk epistemologi Islam
melalui telaah ushul fiqih. Pemahaman akan masalah ini sangatlah penting,
mengingat saat ini begitu banyak kalangan yang menyerukan perlunya renyuisasi
ushul fiqih sebagai pintu masuk untuk memperbarui tatanan hukum Islam. Sebagai
kaum intelektual Islam dengan adanya seruan seperti ini hendaknya kita tidak
mudah tergerus dan tidak mudah pula menjadi orang pertama yang menolak. Untuk
itulah pembahasan ini ada, untuk menjadi bijak menghadapi ajakan renyuisasi
atau pembaruan di dalam bidang tertentu.
Beranjak pada bagian kesembilan yang ditulis oleh Adnin Armas, M.A. dengan
judul ‘metodologi ilmiah dalam Islam’. Pembahasan dalam bab ini sangat unik dan
komparatif.. Pertama-tama penulis mengajak kita untuk menelaah metodologi
ilmiah diluar Islam, dimulai dari umat kristen yang dari awal kemunculannya
hingga abad pertengahan dicengkram oleh gereja dan injil-injil ‘editan’
kemudian pada masa pencerahan (enlightment) mulai menemukan epistemologi
metodologi ilmiah dengan cara yang sangat memalukan yakni dengan tidak
mempedulikan gereja dan dan tidak taat pada aturan baku agama mereka sendiri,
dari sinilah mereka menemukan oase intelektual.
Bagian kesepuluh ini adalah materi yang sangat penting mengenai sebuah
prinsip istimewa yang menjadi khas peradaban Islam yaitu Ilmu dan adab dalam
Islam. Kedua prinsip ini tak bisa dipisahkan satu sama lain, keduanya harus
dimiliki oleh seorang individu. Fenomena menyedihkan yang sedang menimpa umat
saat ini adalah merebaknya disintegrasi diantara keduanya, akibatnya banyak
terlahir tunas tunas kaum intelektual yang tak beradab memimpin dan dipimpin
dalam sebuah institusi kelembagaan.
Seharusnya ilmu dan adab bersinergi menjadi satu dalam diri manusia, karena
di dalam Islam seseorang yang dikatakan berilmu itu adalah orang yang beradab
dan tentunya shaleh. Jika seseorang yang berilmu tapi tidak beradab maka
tetaplah dikatakan orang bodoh, sebagaimana Abul Hakam (Amr bin Hisyam)
dijuluki Abu Jahal yang berarti si bodoh karena ia tidak berakhlak dan tidak lurus
pemikirannya dalam menjawab seruan Rosululloh ﷺ.
Maka Al Attas mengatakan bahwa istilah ta’dib dalam menutut ilmu ini adalah
yang paling tepat daripada sekedar sebutan ta’lim atau sebagainya.
Selanjutnya di bagian kesebelas yang ditulis oleh Dr. Adian Husaini dengan
judul ‘makna adab dalam perspektif pendidikan Islam’. Materi pada bagian ini
melengkapi materi di bagian sebelumnya yakni membahas seputar peradaban dalam
Islam. Di awal pembahasan penulis mengajak kita untuk melek terhadap sila kedua
dari pancasila yang saat ini kian menjauh dari prinsip awal tercetusnya sila
kedua ini, misalnya harapan Bung Hatta dengan adanya sila kedua ini beliau
pernah menuturkan, “yang harus disempurnakan dalam pancasila ialah kedudukan
manusia sebagai hamba Allah ﷻ yang satu sama lain harus merasa bersaudara.
Oleh karena itu pula sila kemanusiaan yang adil dan beradab ini langsung
terletak di bawah sila pertama.”.
Saking pentingnya pengamalan adab ini, seorang pakar filsafat Islam Prof.
Naquib Al-Attas pernah mengutarakan bahwa jatuh bangunnya umat Islam tergantung
pada sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab Islam dalam
kehidupan mereka. Ya, karena pada hakikatnya tujuan pendidikan dalam Islam
ialah untuk membentuk manusia yang beradab (insan adaby).
Bagian yang terakhir atau bagian kedua belas yang ditulis oleh Ir. Budi
Handrianto, M.Pd.I ini berjudul Islamisasi ilmu pengetahuan. Materi terakhir
ini adalah basis perjuangan para pengarang buku ini, begitupun saya pribadi.
Pasca enlightment yang menjadi starting point kemajuan
mereka, bangsa Barat ini mulai berani mengangkat isme-isme baru yang beragam.
Dari mulai sekularisme, rasionalisme, utilitarianisme, pluralisme dan
materialisme. Secara pasti isme-isme ini akan menggiring manusia kepada human
interest si peletak dasar isme tersebut. Karena sang peletak paham itu
adalah kaum Barat yang notabene “kafir” maka pengaruh buruknya akan sangat
tampak dan menjalar pada seluruh elemen kehidupan termasuk pada bidang
keilmuan.
Saat ini bidang keilmuan dan pemikiran pun banyak yang terjerat oleh
jebakan ini. Banyak sekali aliran ilmu pengetahuan yang disekulerkan dengan
sangat rapi sehingga tak jarang kaum intelektual Muslim sekalipun ketika
ditanya tentang hubungan sains dan agama dia menjawab bahwa keduanya adalah dua
jenis yang tidak saling berhubungan satu sama lain. Ilmu dianggap sebagai hal
netral yang tidak berwarna agama. Padahal agama dan ilmu adalah satu kesatuan
yang padu karena Islam sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai dan
keadilan, tak hanya sesama manusia bahkan kepada hewan sekalipun harus memperlakukan
mereka dengan adab yang telah ditetapkan.
Sedangkan isme-isme lain banyak yang melanggar norma-norma kemanusiaan
dengan dalih humanity itu sendiri. Misalnya ada praktik vivisection dimana
hewan hewan dijadikan objek praktik sadis hanya karena dorongan bisnis.
Kemudian demi bisnis juga para petani menyemprot bahan-bahan kimia yang
berlebihan sehingga dikhawatirkan
mengganggu kesehatan si petani sendiri dan pembeli. Kemudian saking tingginya
budaya bisnis dalam pertanian, agrikultur pun berubah menjadi agribisnis, yang
awalnya penuh dengan nuansa saling menghargai menjadi saling sikut demi
kepentingan dan kejayaan suatu kelompok atau pribadi.
Demikian pemaparan singkat tentang buku ini, sudah menjadi kewajiban bagi
kaum Muslimin untuk sadar dari sekarang tentang pentingnya materi dalam buku
ini. Sudah saatnya kita membuka mata tentang kesempurnaan peradaban dengan
berpegang pada siraman wahyu dan warisan para ulama terdahulu. Menerapkan
Islamisasi dalam segala dimensi kehidupan. Mengamalkan Islam sebagaimana para
pendahulu kita yang shaleh memahami.
Buku ini memang sangat kaya pembahasan ilmiah dan sangat kaya referensi.
Ada sekitar 228 referensi yang terjejer di akhir halaman buku. Jumlah daftar
pustaka yang sangat banyak untuk ukuran buku setebal 2cm. Sayangnya karena buku
ini adalah wujud dari 12 makalah yang berbeda-beda dan dibuat oleh delapan
pemakalah yang berbeda juga maka bahasa tulisan pun beragam sesuai dengan gaya
pena masing-masing. Tak hanya gaya tulisannya yang beragam bahkan font size
pun berbeda-beda. Selain itu sistematika kesinambungan dari satu bab ke bab
yang lain pun jadi kurang tersambung, masih mirip seperti bundel makalah akhir
semester. Satu lagi buku ini banyak mengutip kata-kata ilmiah yang ‘njelimet
bagi sebagian orang, sehingga mungkin hanya kaum intelektual saja
yang bisa memahami dengan terang substansi dan arah seruan buku ini.
Namun secara jujur bobot kebenaran yang terkandung dalam buku ini memang
sangat darurat tingkat kebutuhannya bagi para kaum intelektual Muslim dalam
membendung sepak-terjang filsafat ilmu bercorak sekulerisme yang tengah
merajalela dalam alam pemikiran dunia keilmuan masa kini.

Kereng banget ampe diresensi
BalasHapusIya dong :-) Anak siapa dulu ??? :-D
Hapuswkwk