Telaah Primordial Hingga Eksplorial Buku Filsafat Ilmu Karya Dr. Adian Husaini, et. al.

20.04.00 Pustaka Abu Hizqiyal 2 Comments




Judul Buku: Filsafat Ilmu; Perspektif Barat dan Islam
Penulis : DR. Adian Husaini, et. al. 
Penerbit : Gema Insani
Jumlah Halaman : xxviii + 292 = 320 hlm
Tahun Pertama Terbit : 2013

Sebelum menjadi sebuah buku dengan ketebalan 2cm sesungguhnya pada awalnya buku ini merupakan 12 makalah berbeda yang sama-sama berfokus pada satu titik pergulatan yakni menggulati filsafat ilmu. Oleh karena itu nama penulis utama diakhiri dengan et. al. (and another) yang artinya ‘dan kawan-kawan’.
Para pemakalah yang berkontribusi dalam buku ini antara lain: Dr. Adian Husaini, Dr. Syamsuddin Arif, Dr. Nirwan Syafrin, Dr. Ahmad Alim, Dr. Dinar Dewi Kania, Adin Armas M.A., Nashruddin Syarif, M.Pd.I., dan Ir. Budi Handriyanto, M.Pd.I. Mereka adalah para pakar pemikir Islam yang sangat kritis dan ilmiah dalam menjernihkan kembali tradisi keilmuan Islam. Jumhur para penulis buku ini tergabung sebagai tokoh penting di INSIST (Institute for Study of Islamic Thought and Civilization) Jakarta dan sebagiannya adalah lulusan ISTAC-IIUM. Dari background pendidikan dan pemikirannya sudah barang pasti bahwa buku ini memperjuangkan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Berlanjut kepada isi buku, secara garis besar buku ini mengajak kita untuk melek sama-sama memperjuangkan terwujudnya Islamisasi ilmu pengetahuan, khususnya dalam filsafat ilmu, atau lebih wisdomnya untuk mengimbangi dan meluruskan filsafat ilmu yang saat ini sudah terhegemoni oleh sekularisme stadium akhir yang mengarah pada penolakan agama dari kehidupan.
Buku ini terbilang cukup berani, menyuarakan untuk kembali kepada metodologi pemikiran Islam yang benar di tengah carut marut buku-buku filsafat Islam lainnya yang sarat dengan tradisi keilmuan dunia Barat, bahkan telah tergenggam oleh alam pikir Barat. Di tengah realita keterpurukan metodologi alam pikir universal ini buku ini justru berupaya untuk merenaisanisasi ilmu kedalam matodologi Islam sejati dengan mendatangkan sejumlah bukti kecemerlangan tradisi keilmuan dalam Islam dan mengungkap betapa rapuh dan lemahnya metode keilmuan Barat melalui kritikan-kritikan yang sangat ilmiah dan objektif.
Pembahasan filsafat ilmu dalam buku ini sangat komprehensif dan urgen diantaranya tentang sekularisasi ilmu, filsafat Islam dan tradisi keilmuan Islam, urgensi epostemologi Islam, konsep ilmu dalam Islam, mendefinisikan dan memetakan ilmu, objek ilmu dan sumber-sumber ilmu, prinsip-prinsip dasar epistemologi Islam, Konstruk epietemologi Islam: telaah bidang fiqih dan ushul fiqih, metodologi ilmiah dalam Islam, ilmu dan adab dalam Islam, makna “adab” dalam prespektif pendidikan Islam,  dan diakhiri dengan muara pembahasan yang menjadi tujuan akhir buku ini yakni Islamisasi ilmu pengetahuan.
Bagian pertama membahas tuntas tentang sekularisasi ilmu, bab ini sangat penting dipahami dari awal karena aimnya adalah untuk menelanjangi akar sejarah sekularisme ilmu di dunia yang dipelopori oleh tiga hirearki helenik (Socrates-Plato-Aristoteles) yang mana sekularisme ini kian tersaktikan dengan wajah westernisasi terutama ketika kaum Iberia memasuki abad renaisans dan seolah-olah menjadi founding father sains dan teknologi modern.
Bagian kedua berjudul filsafat Islam dan tradisi keilmuan Islam yang ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif dan Dr. Dinar Dewi Kania. Secara garis besar bagian ini menjelaskan bahwa filsafat dalam agama manapun merupakan sebuah keseyogiaan, karena filsafat adalah pencarian kebenaran, dan tentunya kaum rohaniawan adalah para pencari kebenaran. Selain itu bab ini menjelaskan tentang alur tradisi keilmuan Islam terkhusus sebagian besar Bangsa Arab yang pada awalnya hidup dengan moral yang menjijikan dan dalam kurang waktu satu abad setelah diutusnya Rosululloh mereka menjadi populasi maju berkarakter dan berakhlak bagaikan malaikat hingga kurun-kurun setelahnya, begitupula pada periode kekhilafahan di masa pertengahan (Abad 8-13 M) dimana kaum Muslimin menjadi pelita terang dan jantung ilmu pengetahuan. Namun memasuki abad 20 ini kaum Muslimin telah lupa tentang rahasia kejayaan mereka di masa lalu, mereka telah jauh meninggalkan estafeta kemuliaan tradisi ini.
Kemudian di bagian ketiga yaitu urgensi epistemologi Islam yang ditulis oleh Dr. Adian Husaini yang membahas tentang pentingnya bagi kaum Muslimin mencari ilmu dengan epistemologi Islami yang telah disepakati oleh para ulama dengan memperhatikan adab, ushul fiqih, sejarah, dll yang akurat dan tidak menyelisihi sunnah.
Setelah kita mampu menggali ilmu berdasarkan epistemologi Islami ini maka kita akan dapat menemukan tujuan yang hakiki dalam pencarian ilmu yakni untuk lebih mengenal Allah dengan segala keagungan dan kemuliaan-Nya yang tentu berbuah pada ketakwaan dan keimanan kita. Bercermin kepada masa lalu, Islam akan jaya dan perkasa ketika epistemologi yang diamalkan adalah epistemologi Islami. Tak hanya menjadi pemecah masalah bagi masalah internal, bahkan masalah eksternal diluar Islampun dapat diatasi, sebagaimana yang telah terjadi pada masa lalu.
Selanjutnya pada bagian keempat berjudul konsep ilmu dalam Islam yang ditulis oleh Nashruddin Syarif, M.Pd.I yang membahas tentang confusion (kekacauan) yang sedang banyak terjadi dan dijadikan trendi intelektual yakni spesialisasi ilmu, dimana para sarjana Muslim banyak yang kurang paham agama lantaran dia mahasiswa kimia misalnya, padahal menggali ilmu agama adalah prioritas utama dan wajib dimiliki oleh setiap Muslim, terutama kaum intelektual yang notabene dengan ilmu.
Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. Dalam Islam ilmu yang logis-empiris dan yang sifatnya wahyu (revelational) keduanya adalah sesuatu yang ilmiah. Yang dikenal hanya klasifikasi (pengelompokan) dan diferensiasi (pembedaan), bukan dikotomi yang dikenal di dunia Barat.
Bagian kelima dalam buku ini berjudul ‘mendefinisikan dan memetakan ilmu’ yang ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif. Bagian ini mengajak kita untuk memeriksa ulang konsep ilmu dalam Islam, dengan memusatkan perhatian kepada bagaimana ilmu dipahami dan dipetakan oleh para ulama dari berbagai aliran pemikiran selama rentang ratusan tahun.
Dilanjutkan pada bagian keenam dengan judul objek ilmu dan sumber-sumber ilmu yang ditulis oleh Dr. Dinar Dewi Kania. Bagian ini wajib dicerna oleh para pencari ilmu karena merupakan hal yang mendasar. Dalam bahasan ini kita diharapkan bisa mengkaji ilmu secara mendalam dan sistematis. Tak hanya ilmu bahkan kriteria-kriteria dalam perolehannya dengan keterbatasan-keterbatasannya serta cara menjustifikasi ilmu tersebut yang dikenal dengan istilah ‘epistemologi’ (segala sesuatu mengenai proses yang terlihat dalam usaha manusia dalam memperoleh ilmu).
Sumber ilmu dalam Islam adalah Sang Maha Pencipta itu sendiri. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha mengetahui terhadap segala sesuatu baik yang tampak ataupun ghaib. Maka sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa yang dijadikan sumber-sumber ilmu dalam Islam adalah apa-apa yang diberikan oleh Allah yang bersifat wahyu seperti kitab-kitab-Nya terutama Al-Qur’an, Hadits-hadits nabawi,  dan yang bersifat empiris-rasional seperti akal dan qalbu.
Di bagian ketujuh yang berjudul prinsip-prinsip dasar epistemologi Islam oleh Dr. Syamsuddin Arif. Dalam pembahasan ini penulis mengajak kita untuk memahami kembali prinsip-prinsip (ushul) dan dasar-dasar (mabadi’) epistemologi Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu (salaf) dan golongan ahlussunnah wal jama’ah yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Shohihah.
Selanjutnya di bagian kedelapan ditulis oleh Dr. Nirwan Syafrin dengan judul ‘konstruk epistemologi Islam: telaah bidang fiqih dan ushul fiqih’. Dalam sajian materi ini penulis mencoba mengeksplorasi konstruk epistemologi Islam melalui telaah ushul fiqih. Pemahaman akan masalah ini sangatlah penting, mengingat saat ini begitu banyak kalangan yang menyerukan perlunya renyuisasi ushul fiqih sebagai pintu masuk untuk memperbarui tatanan hukum Islam. Sebagai kaum intelektual Islam dengan adanya seruan seperti ini hendaknya kita tidak mudah tergerus dan tidak mudah pula menjadi orang pertama yang menolak. Untuk itulah pembahasan ini ada, untuk menjadi bijak menghadapi ajakan renyuisasi atau pembaruan di dalam bidang tertentu.
Beranjak pada bagian kesembilan yang ditulis oleh Adnin Armas, M.A. dengan judul ‘metodologi ilmiah dalam Islam’. Pembahasan dalam bab ini sangat unik dan komparatif.. Pertama-tama penulis mengajak kita untuk menelaah metodologi ilmiah diluar Islam, dimulai dari umat kristen yang dari awal kemunculannya hingga abad pertengahan dicengkram oleh gereja dan injil-injil ‘editan’ kemudian pada masa pencerahan (enlightment) mulai menemukan epistemologi metodologi ilmiah dengan cara yang sangat memalukan yakni dengan tidak mempedulikan gereja dan dan tidak taat pada aturan baku agama mereka sendiri, dari sinilah mereka menemukan oase intelektual. 
Bagian kesepuluh ini adalah materi yang sangat penting mengenai sebuah prinsip istimewa yang menjadi khas peradaban Islam yaitu Ilmu dan adab dalam Islam. Kedua prinsip ini tak bisa dipisahkan satu sama lain, keduanya harus dimiliki oleh seorang individu. Fenomena menyedihkan yang sedang menimpa umat saat ini adalah merebaknya disintegrasi diantara keduanya, akibatnya banyak terlahir tunas tunas kaum intelektual yang tak beradab memimpin dan dipimpin dalam sebuah institusi kelembagaan.
Seharusnya ilmu dan adab bersinergi menjadi satu dalam diri manusia, karena di dalam Islam seseorang yang dikatakan berilmu itu adalah orang yang beradab dan tentunya shaleh. Jika seseorang yang berilmu tapi tidak beradab maka tetaplah dikatakan orang bodoh, sebagaimana Abul Hakam (Amr bin Hisyam) dijuluki Abu Jahal yang berarti si bodoh karena ia tidak berakhlak dan tidak lurus pemikirannya dalam menjawab seruan Rosululloh . Maka Al Attas mengatakan bahwa istilah ta’dib dalam menutut ilmu ini adalah yang paling tepat daripada sekedar sebutan ta’lim atau sebagainya.
Selanjutnya di bagian kesebelas yang ditulis oleh Dr. Adian Husaini dengan judul ‘makna adab dalam perspektif pendidikan Islam’. Materi pada bagian ini melengkapi materi di bagian sebelumnya yakni membahas seputar peradaban dalam Islam. Di awal pembahasan penulis mengajak kita untuk melek terhadap sila kedua dari pancasila yang saat ini kian menjauh dari prinsip awal tercetusnya sila kedua ini, misalnya harapan Bung Hatta dengan adanya sila kedua ini beliau pernah menuturkan, “yang harus disempurnakan dalam pancasila ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah   yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila kemanusiaan yang adil dan beradab ini langsung terletak di bawah sila pertama.”.
Saking pentingnya pengamalan adab ini, seorang pakar filsafat Islam Prof. Naquib Al-Attas pernah mengutarakan bahwa jatuh bangunnya umat Islam tergantung pada sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab Islam dalam kehidupan mereka. Ya, karena pada hakikatnya tujuan pendidikan dalam Islam ialah untuk membentuk manusia yang beradab (insan adaby).
Bagian yang terakhir atau bagian kedua belas yang ditulis oleh Ir. Budi Handrianto, M.Pd.I ini berjudul Islamisasi ilmu pengetahuan. Materi terakhir ini adalah basis perjuangan para pengarang buku ini, begitupun saya pribadi.
Pasca enlightment yang menjadi starting point kemajuan mereka, bangsa Barat ini mulai berani mengangkat isme-isme baru yang beragam. Dari mulai sekularisme, rasionalisme, utilitarianisme, pluralisme dan materialisme. Secara pasti isme-isme ini akan menggiring manusia kepada human interest si peletak dasar isme tersebut. Karena sang peletak paham itu adalah kaum Barat yang notabene “kafir” maka pengaruh buruknya akan sangat tampak dan menjalar pada seluruh elemen kehidupan termasuk pada bidang keilmuan.
Saat ini bidang keilmuan dan pemikiran pun banyak yang terjerat oleh jebakan ini. Banyak sekali aliran ilmu pengetahuan yang disekulerkan dengan sangat rapi sehingga tak jarang kaum intelektual Muslim sekalipun ketika ditanya tentang hubungan sains dan agama dia menjawab bahwa keduanya adalah dua jenis yang tidak saling berhubungan satu sama lain. Ilmu dianggap sebagai hal netral yang tidak berwarna agama. Padahal agama dan ilmu adalah satu kesatuan yang padu karena Islam sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai dan keadilan, tak hanya sesama manusia bahkan kepada hewan sekalipun harus memperlakukan mereka dengan adab yang telah ditetapkan.
Sedangkan isme-isme lain banyak yang melanggar norma-norma kemanusiaan dengan dalih humanity itu sendiri. Misalnya ada praktik vivisection dimana hewan hewan dijadikan objek praktik sadis hanya karena dorongan bisnis. Kemudian demi bisnis juga para petani menyemprot bahan-bahan kimia yang berlebihan  sehingga dikhawatirkan mengganggu kesehatan si petani sendiri dan pembeli. Kemudian saking tingginya budaya bisnis dalam pertanian, agrikultur pun berubah menjadi agribisnis, yang awalnya penuh dengan nuansa saling menghargai menjadi saling sikut demi kepentingan dan kejayaan suatu kelompok atau pribadi.
Demikian pemaparan singkat tentang buku ini, sudah menjadi kewajiban bagi kaum Muslimin untuk sadar dari sekarang tentang pentingnya materi dalam buku ini. Sudah saatnya kita membuka mata tentang kesempurnaan peradaban dengan berpegang pada siraman wahyu dan warisan para ulama terdahulu. Menerapkan Islamisasi dalam segala dimensi kehidupan. Mengamalkan Islam sebagaimana para pendahulu kita yang shaleh memahami.
Buku ini memang sangat kaya pembahasan ilmiah dan sangat kaya referensi. Ada sekitar 228 referensi yang terjejer di akhir halaman buku. Jumlah daftar pustaka yang sangat banyak untuk ukuran buku setebal 2cm. Sayangnya karena buku ini adalah wujud dari 12 makalah yang berbeda-beda dan dibuat oleh delapan pemakalah yang berbeda juga maka bahasa tulisan pun beragam sesuai dengan gaya pena masing-masing. Tak hanya gaya tulisannya yang beragam bahkan font size pun berbeda-beda. Selain itu sistematika kesinambungan dari satu bab ke bab yang lain pun jadi kurang tersambung, masih mirip seperti bundel makalah akhir semester. Satu lagi buku ini banyak mengutip kata-kata ilmiah yang ‘njelimet bagi sebagian orang, sehingga mungkin hanya kaum intelektual saja yang bisa memahami dengan terang substansi dan arah seruan buku ini.

Namun secara jujur bobot kebenaran yang terkandung dalam buku ini memang sangat darurat tingkat kebutuhannya bagi para kaum intelektual Muslim dalam membendung sepak-terjang filsafat ilmu bercorak sekulerisme yang tengah merajalela dalam alam pemikiran dunia keilmuan masa kini.

You Might Also Like

2 komentar: