Menghafal Al-Qur’an VS Menghafal Lagu; Sebuah Distingsi

18.35.00 Pustaka Abu Hizqiyal 0 Comments


Pernah terlontar sebuah pertanyaan . . .

Pertanyaan: Terkadang ketika saya belajar dengan alunan musik saya bisa menikmatinya dan mempercepat daya serap saya terhadap pelajaran. Berbeda ketika saya mendengarkan al-Qur'an ketika belajar. Saya sulit menikmatinya. Malah sebaliknya, seringkali saya bosan dan tidak memberikan efek positif terhadap daya serap belajar, padahal keduanya sama-sama mempunyai irama yang pada dasarnya disukai oleh kaum instinc. Mengapa bisa demikian? Sebagai seorang Muslim, saya ingin sekali memecahkan kesenjangan ini. Tq!

Jawaban: Memang perpindahan dari musik kepada al-Qur’an ini terasa sulit dan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Mungkin alasannya karena kedua hal ini sangat bertolak belakang, terutama jika kita menggunakan pisau bedah syari’at.

Di dalam ajaran Islam, problematika musik menuai perdebatan yang panjang. Ada sebagian kalangan yang memperbolehkan dengan berbagai syarat serta ketentuannya dan adapula kalangan yang melarang secara mutlak. Keduanya mempunyai argumentasi tersendiri.

Dalam menyikapi hal ini, saya mendapatkan solusi yang berasal dari pengalaman pribadi dan dari hasil sharing dengan sesama kaum Instinc. Di antara mereka ada yang mengalami kesulitan untuk menikmati lantunan al-Qur’an dan beranggapan bahwa belajar disertai lantunan musik tidak senikmat belajar dengan iringan al-Qur’an. Bahkan ketika belajar disertai al-Qur’an terkadang mengganggu tingkat konsentrasi belajar. Padahal kita mengetahui bahwa antara musik dan al-Qur’an terdapat satu kesamaan, yaitu adanya irama. Lantas mengapa terjadi kesenjangan antara keduanya.

Menurut saya, kesenjangan itu terjadi karena adanya campur tangan makhluk yang tak kasat mata. Kaum Muslimin berkeyakinan bahwa mereka mempunyai musuh abadi di dalam kehidupannya, yaitu setan. Maka, hal ini pun menjadi salah satu alasan kurangnya kenikmatan dalam mendengarkan al-Qur’an. Karena setan akan selalu berusaha menjerumuskan anak cucu adam, termasuk menjauhkan manusia dari cinta terhadap al-Qur’an. Sebaliknya setan memperindah musik untuk menggiring manusia untuk meninggalkan al-Qur’an. Itu jawaban dari kacamata Islami, yang hanya dapat diakui kebenarannya dengan iman.

Sedangkan dari argumentasi logis, kesenjangan tersebut terjadi karena kurangnya interaksi antara si pendengar dengan lantunan al-Qur’an. Kuantitas interaksi antara dirinya dengan al-Qur’an tidak sebanyak interaksinya dengan musik. Hal ini sangat wajar, karena di era modern ini musik menjadi tren yang digunakan dalam berbagai hal. Contohnya di dalam lagu kebangsaan, iklan promosi, game, tanda panggilan di telpon seluler, media massa, dan lain-lain.

Cara mengatasinya agar dapat menikmati al-Qur’an lebih dari lagu adalah dengan cara berdo’a kepada Allah untuk lebih dapat menikmati al-Qur’an. Kemudian adalah dengan lebih dekat dengan memperbanyak interaksi dengan al-Qur’an. Memang terkadang kita mengawalinya dengan pemaksaan diri yang sangat tidak disukai oleh kaum Instinc. Namun, berdo’alah agar dikuatkan oleh Sang Maha Pencipta, kemudian bertahanlah dalam menempuh tekanan itu. Maka dengan izin Allah dalam waktu tertentu kita dapat menikmati al-Qur’an lebih dari musik. So, let it be!

Satu hal lagi pengalaman berharga yang pernah dilalui oleh saya, ketika baru saja memasuki jenjang strata satu. Saat itu berbagai tekanan pun muncul, terutama program hafalan wajib satu lembar perhari. Pada awalnya hal ini cukup menyiksa dan saya termasuk orang yang menjalaninya dengan penuh tekanan. Berbagai usaha sudah diupayakan. Di antaranya dengan menghafal pada sepertiga malam, menghafal sepanjang malam hingga menjumpai adzan shubuh atau terkapar di pojok masjid karena kelelahan menghafal.

Upaya-upaya itu pernah ditempuh dengan penuh semangat dan optimis. Namun tetap saja saya belum dapat menikmatinya. Sampai-sampai karena tidak bisa mengejar target, saya pernah mendapatkan sebuah kritik dari hasil perjuangan saya yang hampir menemui tembok putus asa.

Hal itu disampaikan oleh salah satu pembimbing hafalan al-Qur’an di kampus. Ia mengatakan: “Khalid, sebaiknya kamu tidak usah memaksakan untuk menghafal! Saya khawatir dengan psikis kamu yang berusaha maksimal, namun sangat minim sekali hasil yang didapat. Kalau dipaksakan, saya khawatir kamu menjadi stress karena putus asa.”

Nasihat yang pernah dilontarkan oleh salah satu pembimbing tahfizh di atas merupakan sebuah bukti tentang buruknya performa hafalan saya di masa lalu. Namun, Alhamdulillah akhirnya beberapa bulan kemudian saya mendapatkan metode tersendiri yang memang sangat cocok diterapkan oleh seorang instinc. Yaitu dengan memusikalisasi al-Qur’an atau membumbui lantunan suci dengan irama yang merdu. Saat itu, saya sangat tertarik dengan irama murottal Syaikh Mishary Rasheed Alafasy Al-Kuwaity.

Menurut saya, beliau adalah seorang Qori’ (pembaca al-Qur’an) yang paling merdu di antara Qori’ lainnya di seluruh dunia. Beliau mampu memberikan irama yang sangat serasi ketika membaca al-Qur’an. Misalnya, ketika terdapat ayat-ayat yang bernuansa do’a (permintaan hamba kepada Allah), maka beliau membacanya dengan nada yang penuh pengharapan. Kemudian, ketika suatu ayat mengandung pertanyaan, beliau membacanya dengan nada pertanyaan. Begitu pula pada ayat-ayat perintah, permisalan, kisah, dan lainnya beliau membacanya sesuai dengan nuansa yang terdapat pada ayat tersebut.

Oleh karena itu, saya menjadikannya sebagai panutan dalam hal memperindah bacaan al-Qur’an. Bahkan, hingga saat ini pun masih selalu memburu setiap bacaannya. Karena sebagai seorang instinc yang telah lama berada di dalam dunia musik, hal seperti itu sangat membantu dan mempercepat proses pembelajaran. Hal ini sebagaimana diterangkan di dalam konsep STIFIn, bahwa jurusan musik adalah jurusan kedua paling cocok bagi kaum instinc. Karena itulah, kunci sukses menghafal al-Qur’an bagi kaum instinc adalah dengan cara menerapkan irama ketika membaca, menyetor, hingga mengulang hafalan. Bahkan beberapa bulan kemudian setelah menemukan metode ini, hanya cukup dengan mendengarkan al-Qur’an sepanjang malam secara berulang-ulang (refeat one) dengan menggunakan MP3 dan headset hingga tertidur, dengan kemudahan dari Allah di pagi harinya saya sudah hampir menghafal ayat-ayat yang diulang tersebut. Sekalipun melalui malam tersebut dengan tidur yang lelap.

Itulah awal yang baru bagi saya yang menjadi titik utama kesuksesan dalam menekuni tahfizh (menghafal al-Qur’an). Sejak saat itu, kemudahan demi kemudahan pun terus bergulir da waktu terus berjalan detik demi detik. Beberapa bulan kemudian, saya sudah dapat membaca al-Qur’an sesuai dengan tajwid dan tahsin. Demikianlah kaleidoskop perjuangan saya dalam mengarungi badai peralihan dari musik menuju al-Qur’an. Dibutuhkan kesabaran demi kesabaran, lalu kembali menguatkan kesabaran, hingga Allah memberikan kemudahan.

Jadi, memang terdapat faktor satani yang berusaha menjegal peralihan dari musik menuju al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang dapat memperkokoh antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Sedangkan musik pada hakikatnya hanya akan memperlemah tali simpul kokoh keimanan seseorang. Ketika sibuk mendengarkan musik, seseorang cenderung lalai kepada Allah dan tenggelam dalam pusparagam emosi dan nafsu manusiawi. Sedangkan, setan telah mempertaruhkan seluruh hidupnya hanya untuk menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Maka, masuk akalkah jika setan akan membiarkan begitu saja ketika seorang hamba Allah hendak berhijrah dari dunia musik menuju kitab suci Ilahi? Tentu tidak!

You Might Also Like

0 komentar: