Menghafal Al-Qur’an VS Menghafal Lagu; Sebuah Distingsi
Pernah terlontar sebuah pertanyaan . . .
Pertanyaan:
Terkadang ketika saya belajar dengan alunan musik saya bisa menikmatinya dan
mempercepat daya serap saya terhadap pelajaran. Berbeda ketika saya
mendengarkan al-Qur'an ketika belajar. Saya sulit menikmatinya. Malah
sebaliknya, seringkali saya bosan dan tidak memberikan efek positif terhadap
daya serap belajar, padahal keduanya sama-sama mempunyai irama yang pada
dasarnya disukai oleh kaum instinc. Mengapa bisa demikian? Sebagai seorang
Muslim, saya ingin sekali memecahkan kesenjangan ini. Tq!
Di dalam ajaran
Islam, problematika musik menuai perdebatan yang panjang. Ada sebagian kalangan
yang memperbolehkan dengan berbagai syarat serta ketentuannya dan adapula
kalangan yang melarang secara mutlak. Keduanya mempunyai argumentasi tersendiri.
Dalam menyikapi
hal ini, saya mendapatkan solusi yang berasal dari pengalaman pribadi dan dari
hasil sharing dengan sesama kaum Instinc. Di antara mereka ada yang mengalami
kesulitan untuk menikmati lantunan al-Qur’an dan beranggapan bahwa belajar disertai
lantunan musik tidak senikmat belajar dengan iringan al-Qur’an. Bahkan ketika
belajar disertai al-Qur’an terkadang mengganggu tingkat konsentrasi belajar.
Padahal kita mengetahui bahwa antara musik dan al-Qur’an terdapat satu
kesamaan, yaitu adanya irama. Lantas mengapa terjadi kesenjangan antara
keduanya.
Menurut saya,
kesenjangan itu terjadi karena adanya campur tangan makhluk yang tak kasat
mata. Kaum Muslimin berkeyakinan bahwa mereka mempunyai musuh abadi di dalam
kehidupannya, yaitu setan. Maka, hal ini pun menjadi salah satu alasan
kurangnya kenikmatan dalam mendengarkan al-Qur’an. Karena setan akan selalu
berusaha menjerumuskan anak cucu adam, termasuk menjauhkan manusia dari cinta
terhadap al-Qur’an. Sebaliknya setan memperindah musik untuk menggiring manusia
untuk meninggalkan al-Qur’an. Itu jawaban dari kacamata Islami, yang hanya
dapat diakui kebenarannya dengan iman.
Sedangkan dari
argumentasi logis, kesenjangan tersebut terjadi karena kurangnya interaksi
antara si pendengar dengan lantunan al-Qur’an. Kuantitas interaksi antara
dirinya dengan al-Qur’an tidak sebanyak interaksinya dengan musik. Hal ini
sangat wajar, karena di era modern ini musik menjadi tren yang digunakan dalam
berbagai hal. Contohnya di dalam lagu kebangsaan, iklan promosi, game, tanda
panggilan di telpon seluler, media massa, dan lain-lain.
Cara
mengatasinya agar dapat menikmati al-Qur’an lebih dari lagu adalah dengan cara
berdo’a kepada Allah untuk lebih dapat menikmati al-Qur’an. Kemudian adalah
dengan lebih dekat dengan memperbanyak interaksi dengan al-Qur’an. Memang
terkadang kita mengawalinya dengan pemaksaan diri yang sangat tidak disukai
oleh kaum Instinc. Namun, berdo’alah agar dikuatkan oleh Sang Maha Pencipta,
kemudian bertahanlah dalam menempuh tekanan itu. Maka dengan izin Allah dalam
waktu tertentu kita dapat menikmati al-Qur’an lebih dari musik. So, let it be!
Satu hal lagi
pengalaman berharga yang pernah dilalui oleh saya, ketika baru saja memasuki
jenjang strata satu. Saat itu berbagai tekanan pun muncul, terutama program
hafalan wajib satu lembar perhari. Pada awalnya hal ini cukup menyiksa dan saya
termasuk orang yang menjalaninya dengan penuh tekanan. Berbagai usaha sudah
diupayakan. Di antaranya dengan menghafal pada sepertiga malam, menghafal sepanjang
malam hingga menjumpai adzan shubuh atau terkapar di pojok masjid karena
kelelahan menghafal.
Upaya-upaya itu
pernah ditempuh dengan penuh semangat dan optimis. Namun tetap saja saya belum
dapat menikmatinya. Sampai-sampai karena tidak bisa mengejar target, saya
pernah mendapatkan sebuah kritik dari hasil perjuangan saya yang hampir menemui
tembok putus asa.
Hal itu
disampaikan oleh salah satu pembimbing hafalan al-Qur’an di kampus. Ia
mengatakan: “Khalid, sebaiknya kamu tidak usah memaksakan untuk menghafal! Saya
khawatir dengan psikis kamu yang berusaha maksimal, namun sangat minim sekali
hasil yang didapat. Kalau dipaksakan, saya khawatir kamu menjadi stress karena
putus asa.”
Nasihat yang
pernah dilontarkan oleh salah satu pembimbing tahfizh di atas merupakan sebuah
bukti tentang buruknya performa hafalan saya di masa lalu. Namun, Alhamdulillah
akhirnya beberapa bulan kemudian saya mendapatkan metode tersendiri yang memang
sangat cocok diterapkan oleh seorang instinc. Yaitu dengan memusikalisasi
al-Qur’an atau membumbui lantunan suci dengan irama yang merdu. Saat itu, saya
sangat tertarik dengan irama murottal Syaikh Mishary Rasheed Alafasy
Al-Kuwaity.
Menurut saya,
beliau adalah seorang Qori’ (pembaca al-Qur’an) yang paling merdu di antara
Qori’ lainnya di seluruh dunia. Beliau mampu memberikan irama yang sangat
serasi ketika membaca al-Qur’an. Misalnya, ketika terdapat ayat-ayat yang
bernuansa do’a (permintaan hamba kepada Allah), maka beliau membacanya dengan
nada yang penuh pengharapan. Kemudian, ketika suatu ayat mengandung pertanyaan,
beliau membacanya dengan nada pertanyaan. Begitu pula pada ayat-ayat perintah,
permisalan, kisah, dan lainnya beliau membacanya sesuai dengan nuansa yang
terdapat pada ayat tersebut.
Oleh karena itu,
saya menjadikannya sebagai panutan dalam hal memperindah bacaan al-Qur’an.
Bahkan, hingga saat ini pun masih selalu memburu setiap bacaannya. Karena
sebagai seorang instinc yang telah lama berada di dalam dunia musik, hal
seperti itu sangat membantu dan mempercepat proses pembelajaran. Hal ini
sebagaimana diterangkan di dalam konsep STIFIn, bahwa jurusan musik adalah
jurusan kedua paling cocok bagi kaum instinc. Karena itulah, kunci sukses
menghafal al-Qur’an bagi kaum instinc adalah dengan cara menerapkan irama
ketika membaca, menyetor, hingga mengulang hafalan. Bahkan beberapa bulan
kemudian setelah menemukan metode ini, hanya cukup dengan mendengarkan
al-Qur’an sepanjang malam secara berulang-ulang (refeat one) dengan menggunakan
MP3 dan headset hingga tertidur, dengan kemudahan dari Allah di pagi harinya saya
sudah hampir menghafal ayat-ayat yang diulang tersebut. Sekalipun melalui malam
tersebut dengan tidur yang lelap.
Itulah awal yang
baru bagi saya yang menjadi titik utama kesuksesan dalam menekuni tahfizh
(menghafal al-Qur’an). Sejak saat itu, kemudahan demi kemudahan pun terus
bergulir da waktu terus berjalan detik demi detik. Beberapa bulan kemudian, saya
sudah dapat membaca al-Qur’an sesuai dengan tajwid dan tahsin. Demikianlah
kaleidoskop perjuangan saya dalam mengarungi badai peralihan dari musik menuju
al-Qur’an. Dibutuhkan kesabaran demi kesabaran, lalu kembali menguatkan
kesabaran, hingga Allah memberikan kemudahan.
Jadi, memang
terdapat faktor satani yang berusaha menjegal peralihan dari musik menuju
al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang dapat memperkokoh antara
seorang hamba dengan Rabb-nya. Sedangkan musik pada hakikatnya hanya akan
memperlemah tali simpul kokoh keimanan seseorang. Ketika sibuk mendengarkan
musik, seseorang cenderung lalai kepada Allah dan tenggelam dalam pusparagam
emosi dan nafsu manusiawi. Sedangkan, setan telah mempertaruhkan seluruh
hidupnya hanya untuk menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Maka, masuk
akalkah jika setan akan membiarkan begitu saja ketika seorang hamba Allah
hendak berhijrah dari dunia musik menuju kitab suci Ilahi? Tentu tidak!


0 komentar: