Perubahan, Sebuah Kode Cinta Ilahi
Kehidupan selalu diwarnai oleh perubahan-perubahan.
Terkadang kita harus meninggalkan zona nyaman menuju zona baru yang belum kita
ketahui ke depannya akan seperti apa. Kau tahu rasa pahit? Terkadang ia pun
turut bersembunyi di balik fenomena perubahan itu. Jauh dari orangtua dan keluarga,
meninggalkan sahabat dan rekan kerja, jauh dari kampung halaman dan selainnya
adalah contoh rasa pahit yang seringkali dialami. Tapi pahitnya perubahan
seringkali seperti pahit kopi yang terdapat kelezatan di balik pahit-pekatnya. Itulah
kehidupan.
Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Hal
ini adalah sebuah konsekuensi logis alamiah yang telah diketahui oleh manusia
sejak dahulu, namun tetap saja pahit itu tak bisa dibendung ketika perpisahan
terjadi. Namun sekali lagi, itulah kehidupan. Pada hakikatnya, mau tidak mau,
kita harus melewati episode demi episode yang telah ditetapkan Sang Ilahi
dengan rahmatnya. Lintasan takdir itu sudah terancang dengan kokoh dan
sempurna. Tugas kita adalah berusaha mereguk hikmah di balik episode-episode
itu.
Menyikapi hal ini, kita perlu meniliknya dengan kacamata
iman. Tatkala menginjak perubahan kita harus meyakini bahwa orang yang kita
tinggalkan ada yang menjaganya, yang bahkan rasa sayangnya bermilyar kali lipat
daripada rasa sayang kita. Demikian juga ketika kita meninggalkan, kita pun
harus yakin bahwa di belahan dunia manapun kita berada, selalu ada Sang Ilahi
yang sangat menyayangi kita, dan Dia selalu mengawal dan melindungi kita dengan
kasihsayang-Nya. Kenyataan seperti ini disebut dengan hakikat yang sebenarnya,
sekalipun seringkali akal dan perasaan menyangkalnya.
Dalam ajaran Islam, wahyu harus berada di atas akal dan
perasaan. Seandainya kita bisa menancapkan keyakinan ini, maka akan ada
kedamaian hakiki yang bersemayam di dalam relung hati kita. Pendirian kita
tidak akan rancu dan simpangsiur. Kita akan lebih merasa tentram, karena di
atas penjagaan dan rasa sayang kita yang sangat terbatas, ada Maha Penjaga dan Maha
Penyayang yang tak pernah lalai menjaga seluruh makhluk-Nya walaupun hanya 1
milidetik. Berharaplah hanya pada-Nya dan serahkanlah hanya pada-Nya, sebagaimana
term Muslim (orang yang berserahdiri) yang telah tersemat dalam jiwa kita.
Pengamalan pribadi yang telah saya amalkan dalam hal ini
adalah penyerahan apapun yang saya punya kepada Allah ketika hendak tidur. Hal
ini dilakukan setelah saya berikhtiar maksimal dalam self defense. Misalnya, sebelum
tidur saya selalu berujar “Yaa Allah, kutitipkan Imanku, nyawaku dan istriku, seluruh
keluargaku dan seluruh harta yang telah Engkau amanahkan kepadaku. Kutitipkan
kepada-Mu yaa Allah. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi Rasa Aman.”
Atau ketika memastikan kendaraan sudah terkunci ganda
(keamanan maksimal), saya kembali berujar “Yaa Allah, sesungguhnya aku menitipkan
kendaraan ini dan Engkau adalah sebaik-baik Pemberi Rasa Aman.” Maka setelah
melakukan ikhtiar dan do’a, secara otomatis ada rasa aman yang lebih maksimal
dari Sang Maha Pemerhati.
Jadi intinya adalah sebuah keyakinan. Ketika keyakinan
sudah terpatri dalam diri tentang kepastian adanya cinta dari Sang Ilahi.
Seperti perkataan khalilullah Ibrahim ‘alaihissalam ketika tengah diusir
oleh ayahnya, sang khalil berkata “Keselamatan bagimu wahai ayahku tercinta,
aku akan terus memintakan ampunan bagimu kepada Allah, sesungguhnya Dia
benar-benar sangat sayang kepadaku.” Keyakinan tentang kepastian kasih sayang
Allah ini mendorong sang khalil menjadi tidak takut kepada siapapun. Sampai
beliau berani membangkang kepada Namrud, raja Babilonia di masanya. Dan takdir
yang terjadi, kemenangan ada di tangan sang khalil, sampai Namrud merasa putus
asa dan membangun menara babel yang menjulang menantang Tuhannya Ibrahim,
sampai akhirnya Allah hinakan Namrud dengan seekor lalat/nyamuk.
Sekali lagi. Ini adalah masalah keyakinan, tentang sejauh
mana kita meyakini eksistensi cinta Ilahi dan mengekang akal dan perasaan yang
seringkali disesatkan oleh setan.
Untuk anda yang sedang berada pada dilema perubahan,
jangan pernah takut. Karena selalu ada Allah yang siap mengajar dan membimbing
setiap langkah kita. Kita adalah hamba-Nya, maka berlakulah sebagaimana hamba
sahaya yang menagih simpati tuannya, patuhilah Dia. Niscaya Dia akan selalu
menyayangi kita.
Yakinilah! Seandainya Allah mentakdirkan sebuah perubahan
pada diri kita (dan itu lebih baik di sisi-Nya), sebenarnya Allah ingin
mengajarkan tentang keimanan dan kehidupan pada perubahan tersebut, bisa oleh
bimbingan maknawi diri-Nya sendiri atau melalui hamba-hamba shaleh yang Dia
pilih.
Saya pun berkeyakinan seperti itu, “Tidaklah Allah
mentakdirkan aku berpindah ke bagian bumi yang lain, kecuali ada yang ingin Dia
ajarkan di sana.”
Dulu lima tahun di Bogor, Allah mengajarkan saya tentang
berbagai hal ilmu keislaman, kemudian kembali ke kampung halaman, Allah mengajarkan
saya untuk membangun jiwa sosial yang baik dengan masyarakat dan berkontribusi
mengamalkan didikan-Nya selama di Bogor, kemudian sekarang kembali berkelana ke
ujung bagian barat Pulau Jawa (Serang-Banten), saya pasrahkan diri dan bersiap
menanti ajaran berikutnya, dari Dia Sang Maha Cinta. Allahu Rabbul ‘Aalamiin.
Terakhir, ingatlah bahwa penghalang yang selalu digunakan
setan untuk menghalangi kita adalah akal dan perasaan. Keduanya seringkali
membuat kita ragu tentang wahyu atau sabda. Keduanya selalu berusaha membantah
wahyu dan menimbulkan keraguan. Maka berhati-hatilah terhadap keduanya. Utamakan
wahyu di atas keduanya, niscaya kita akan bahagia in syaa Allah. Bahagia dalam
dimensi iman Cinta Ilahi.


0 komentar: