Perubahan, Sebuah Kode Cinta Ilahi

20.43.00 Pustaka Abu Hizqiyal 0 Comments



Kehidupan selalu diwarnai oleh perubahan-perubahan. Terkadang kita harus meninggalkan zona nyaman menuju zona baru yang belum kita ketahui ke depannya akan seperti apa. Kau tahu rasa pahit? Terkadang ia pun turut bersembunyi di balik fenomena perubahan itu. Jauh dari orangtua dan keluarga, meninggalkan sahabat dan rekan kerja, jauh dari kampung halaman dan selainnya adalah contoh rasa pahit yang seringkali dialami. Tapi pahitnya perubahan seringkali seperti pahit kopi yang terdapat kelezatan di balik pahit-pekatnya. Itulah kehidupan.

Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Hal ini adalah sebuah konsekuensi logis alamiah yang telah diketahui oleh manusia sejak dahulu, namun tetap saja pahit itu tak bisa dibendung ketika perpisahan terjadi. Namun sekali lagi, itulah kehidupan. Pada hakikatnya, mau tidak mau, kita harus melewati episode demi episode yang telah ditetapkan Sang Ilahi dengan rahmatnya. Lintasan takdir itu sudah terancang dengan kokoh dan sempurna. Tugas kita adalah berusaha mereguk hikmah di balik episode-episode itu.

Menyikapi hal ini, kita perlu meniliknya dengan kacamata iman. Tatkala menginjak perubahan kita harus meyakini bahwa orang yang kita tinggalkan ada yang menjaganya, yang bahkan rasa sayangnya bermilyar kali lipat daripada rasa sayang kita. Demikian juga ketika kita meninggalkan, kita pun harus yakin bahwa di belahan dunia manapun kita berada, selalu ada Sang Ilahi yang sangat menyayangi kita, dan Dia selalu mengawal dan melindungi kita dengan kasihsayang-Nya. Kenyataan seperti ini disebut dengan hakikat yang sebenarnya, sekalipun seringkali akal dan perasaan menyangkalnya.

Dalam ajaran Islam, wahyu harus berada di atas akal dan perasaan. Seandainya kita bisa menancapkan keyakinan ini, maka akan ada kedamaian hakiki yang bersemayam di dalam relung hati kita. Pendirian kita tidak akan rancu dan simpangsiur. Kita akan lebih merasa tentram, karena di atas penjagaan dan rasa sayang kita yang sangat terbatas, ada Maha Penjaga dan Maha Penyayang yang tak pernah lalai menjaga seluruh makhluk-Nya walaupun hanya 1 milidetik. Berharaplah hanya pada-Nya dan serahkanlah hanya pada-Nya, sebagaimana term Muslim (orang yang berserahdiri) yang telah tersemat dalam jiwa kita.

Pengamalan pribadi yang telah saya amalkan dalam hal ini adalah penyerahan apapun yang saya punya kepada Allah ketika hendak tidur. Hal ini dilakukan setelah saya berikhtiar maksimal dalam self defense. Misalnya, sebelum tidur saya selalu berujar “Yaa Allah, kutitipkan Imanku, nyawaku dan istriku, seluruh keluargaku dan seluruh harta yang telah Engkau amanahkan kepadaku. Kutitipkan kepada-Mu yaa Allah. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi Rasa Aman.”

Atau ketika memastikan kendaraan sudah terkunci ganda (keamanan maksimal), saya kembali berujar “Yaa Allah, sesungguhnya aku menitipkan kendaraan ini dan Engkau adalah sebaik-baik Pemberi Rasa Aman.” Maka setelah melakukan ikhtiar dan do’a, secara otomatis ada rasa aman yang lebih maksimal dari Sang Maha Pemerhati.

Jadi intinya adalah sebuah keyakinan. Ketika keyakinan sudah terpatri dalam diri tentang kepastian adanya cinta dari Sang Ilahi. Seperti perkataan khalilullah Ibrahim ‘alaihissalam ketika tengah diusir oleh ayahnya, sang khalil berkata “Keselamatan bagimu wahai ayahku tercinta, aku akan terus memintakan ampunan bagimu kepada Allah, sesungguhnya Dia benar-benar sangat sayang kepadaku.” Keyakinan tentang kepastian kasih sayang Allah ini mendorong sang khalil menjadi tidak takut kepada siapapun. Sampai beliau berani membangkang kepada Namrud, raja Babilonia di masanya. Dan takdir yang terjadi, kemenangan ada di tangan sang khalil, sampai Namrud merasa putus asa dan membangun menara babel yang menjulang menantang Tuhannya Ibrahim, sampai akhirnya Allah hinakan Namrud dengan seekor lalat/nyamuk.

Sekali lagi. Ini adalah masalah keyakinan, tentang sejauh mana kita meyakini eksistensi cinta Ilahi dan mengekang akal dan perasaan yang seringkali disesatkan oleh setan.

Untuk anda yang sedang berada pada dilema perubahan, jangan pernah takut. Karena selalu ada Allah yang siap mengajar dan membimbing setiap langkah kita. Kita adalah hamba-Nya, maka berlakulah sebagaimana hamba sahaya yang menagih simpati tuannya, patuhilah Dia. Niscaya Dia akan selalu menyayangi kita.
Yakinilah! Seandainya Allah mentakdirkan sebuah perubahan pada diri kita (dan itu lebih baik di sisi-Nya), sebenarnya Allah ingin mengajarkan tentang keimanan dan kehidupan pada perubahan tersebut, bisa oleh bimbingan maknawi diri-Nya sendiri atau melalui hamba-hamba shaleh yang Dia pilih.

Saya pun berkeyakinan seperti itu, “Tidaklah Allah mentakdirkan aku berpindah ke bagian bumi yang lain, kecuali ada yang ingin Dia ajarkan di sana.”

Dulu lima tahun di Bogor, Allah mengajarkan saya tentang berbagai hal ilmu keislaman, kemudian kembali ke kampung halaman, Allah mengajarkan saya untuk membangun jiwa sosial yang baik dengan masyarakat dan berkontribusi mengamalkan didikan-Nya selama di Bogor, kemudian sekarang kembali berkelana ke ujung bagian barat Pulau Jawa (Serang-Banten), saya pasrahkan diri dan bersiap menanti ajaran berikutnya, dari Dia Sang Maha Cinta. Allahu Rabbul ‘Aalamiin.

Terakhir, ingatlah bahwa penghalang yang selalu digunakan setan untuk menghalangi kita adalah akal dan perasaan. Keduanya seringkali membuat kita ragu tentang wahyu atau sabda. Keduanya selalu berusaha membantah wahyu dan menimbulkan keraguan. Maka berhati-hatilah terhadap keduanya. Utamakan wahyu di atas keduanya, niscaya kita akan bahagia in syaa Allah. Bahagia dalam dimensi iman Cinta Ilahi.

You Might Also Like

0 komentar: