Antara Aku Dan Badiuzzaman: Sosok Syaikh Nursi Dalam Nyata

19.01.00 Pustaka Abu Hizqiyal 0 Comments



Kembali ke skripsiku. Akhirnya setelah melewati beberapa revisi, ditentukanlah sidang munaqosyah. Dari sekian banyak teman seangkatan, aku yang pertama kali disidang, karena memang selesai lebih awal.

Alhamdulillah sidang berjalan dengan baik. Namun yang menjadi sorotan utama bukan isi skripsinya, tapi tokohnya. "Mengapa memilih Said Nursi?". Pertanyaan yang cukup sulit mengingat tokoh yang kuangkat, background pemahamannya berbeda dengan background kampusku.

Tapi dengan jawaban jujur apa adanya plus tidak banyak bela diri, akhirnya sidang selesai. Ini tips jitu yang diajarkan dosen agar tidak babak belur ketika sidang skripsi. Caranya simpel, jangan banyak membantah dan iyakan saja.

Beberapa waktu pun berlalu. Hingga singkat cerita aku kembali ke kampung halaman, membuka episode baru. Dan entah mengapa dalam 3 tahun terakhir ini kata "Nur" terasa melekat dengan kehidupanku. Sesuatu yang paling besar adalah ketika Alloh mempertemukanku dengan Ustadz Nur beserta keluarga Nur.

Ayahnya adalah Syaikh Arifin Hafizhohulloh. Semua anaknya dinamai Nur. Hal ini terasa ajaib bagiku yang baru saja mendapat do'a-do'a dari para pelajar Risalah Nur. Jadi, dalam kitab-kitabnya ada sebuah amanat khusus kepada para pembacanya, Syaikh Nursi berkata bahwa pelajar Risalah Nur bersaudara dan harus saling mendo'akan. Syaikh Nursi pun di masa hidupnya pernah berdo'a agar pembaca kitabnya sampai hari kiamat diberikan kebaikan sebanyak huruf dalam kitab-kitab Risalah Nur.

Memang ketika seseorang sudah meninggal, ia tidak akan dapat memberikan kebaikan sedikitpun. Tapi hal ini berbeda karena Syaikh Nursi berdo'a kepada Allah ketika beliau hidup. Selain itu, beliau meninggalkan amal jariyah yang tak terputus, yakni ilmu yang bermanfaat.

Kembali ke Ustadz Nur. Beliau adalah sosok yang berpaham muwazzanah, tidak mudah menyalahkan jamaah lain dan tidak merasa benar sendiri. Sebaliknya, selama seseorang itu Muslim, maka beliau sangat menghormatinya.

Mengenal dan dekat dengannya, saya terasa berguru kepada Syaikh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah. Karena karakter keduanya banyak kemiripan. Pertama, Al-Ustadz adalah orang yang gemar membaca kitab Ibnul Qoyyim, kedua, sama-sama menguasai thibbunnabawi terutama obat herbal. Beliau memiliki perusahaan herbal dan meracik obat sendiri, karena disiplin ilmu yang beliau pelajari ketika kuliah di ITB tahun 1983 adalah herbal juga. Dan kemiripan yang ketiga adalah sama-sama banyak mengajarkan tentang manajemen hati. Bagaimana menata hati agar lebih halus, selangkah lebih dekat dengan qolbun salim-nya Ibrohim Al-Kholil alaihissalam. Kiat melunakkan hati agar tidak memandang sebelah mata kepada Muslim yang lain.

Ada banyak hal yang kepelajari dari beliau. Terutama tentang bagaimana bersikap dan menyikapi sesama Muslim di zaman ini. 

Bisa dibilang, beliau adalah salah satu Murobbi juga ayah angkatku. Murobbi dengan konteks yang lebih nyata, terutama sebagai pendidik dan pemberi fasilitas. Selama 2 tahun terakhir, aku diamanahi untuk menjaga rumahnya beserta berbagai fasilitas yang sudah ada, beliaupun memberikan segenggam uang bulanan yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dan yang paling penting adalah didikan praktik dakwah yang selama ini kusampaikan di berbagai majelis ta'lim. Sangat bermanfaat sekali di dunia dan akhirat. Demi Allah! Aku mencintai beliau karena Allah. Semoga Allah memasukkannya ke surga beserta keluarga dan orang-orang yang dikenalnya. Aamiin.

Beliau banyak mendidik tentang bagaimana berdakwah secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Mendidikku untuk khutbah jum'at, mengisi kajian-kajian, bersafar tarbawi, dialog-dialog fiqih ikhtilaf, dan lain sebagainya.

Akhirnya di awal 2019 aku berpamitan kepada beliau, meminta izin untuk berjalan di belahan muka bumi yang lain untuk mengamalkan sedikit ilmu yang Alloh ajarkan melalui beliau. Dengan mengekang rasa rindu kepada orangtua, beliau dan kampung halaman, aku harus melanjutkan hidup di tempat yang lain. Berusaha untuk beranjak dari convert zone, demi lebih mandiri dan bisa berbakti kepada orangtua dengan cara berdikari.

Selalu ku ucapkan dan kuyakini, "Tidaklah Alloh mempertemukanku dengan oranglain, kecuali agar aku bisa belajar kepadanya." Ustadz Nur adalah satu dari pusparagam Romansa Robbani yang Alloh berikan kepadaku. Semoga beliau disehatkan selalu dan diberi istiqomah.

Aku harus melanjutkan hidup! Lebih bergantung kepada Ash-Shomad, Robbul 'Aalamiin. Itu wasiat terbesar beliau yang akan selalu kuingat.

You Might Also Like

0 komentar: