Bercermin Kepada Nafisah Binti Al-Hasan Rohimahalloh

19.29.00 Pustaka Abu Hizqiyal 0 Comments


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Pembaca yang dirahmati Alloh. Nafisah Binti Al-Hasan Rohimahalloh adalah seorang muslimah ahli ibadah, zuhud, sangat taat pada Allah, serta sangat mudah dikabulkan do’a-do’anya. ia sangat tekun dalam beribadah, hingga Allah memberikan padanya banyak kemuliaan. Beliau adalah putri dari Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, ia masih ada hubungan darah dengan Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam.
Nafisah dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 11 Rabiul Awwal pada tahun 145 Hijriah, di kota Makkah Mukarramah. Ia memperoleh pendidikan pertama dari keluarganya yang shalih. Ia telah hafal Al-Qur’an Di usia delapan tahun. Ibunya, Zainab putri dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, mendampinginya menuju kota Al-Madinah Al-Munawwarah, untuk belajar di Masjid Nabawi bersama Muslimah lainnya. Hingga ia diberikan julukan Nafisatul ‘Ilmi, sebelum sampai di usia pernikahannya. Selama hidup, ia telah berhaji lebih dari 30 kali, dengan cara berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah.
Nafisah menikah dengan Ishaq Al-Mu’tamin, putra dari Ja’far Ash-Shadiq Rohimahulloh di bulan Rajab tahun 161 Hijriyah.
Nafisah menghabiskan banyak waktunya di Masjid Nabawi. Ia pun menjadikan akhirat selalu berada di hadapan matanya. Banyak melaksanakan shalat malam dan membaca Al-Qur’an hingga ratusan kali. Ia biasa dibantu menyelesaikan pekerjaan rumahnya oleh keponakannya. Kesholehahan Nafisah tergambar dari penuturan keponakannya ini, yang berkata,
“Aku melayani bibiku Sayidah Nafisah selama 40 tahun. Dan aku tidak pernah melihatnya tidur di malam hari, dan tidak melihatnya kecuali selalu melazimkan puasa-puasa sunnah. Sampai aku bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau tidak mengasihani dirimu sendiri, wahai Nafisah?’.
Kemudian Nafisah menjawab. “Bagaimana aku mengasihani diriku, padahal di depanku ada jurang yang tidak bisa dilewati kecuali oleh orang-orang yang beruntung, karena ketaatannya kepada Alloh.’”
Keponakannya ini pun mengatakan, “Bibiku hafal Al-Qur’an dan bisa menafsirkannya. Ia selalu membaca Al-Qur’an sambil menangis.”
Pembaca yang dirahmati Allah. Pada tahun 193 Hijriyah, Nafisah pindah ke kota Kairo di Mesir. Penduduk Mesir pun menyambutnya dengan takbir dan tahlil. Mereka menyambutnya dan menimba ilmu darinya ,hingga waktunya menjadi penuh, hampir-hampir kesibukannya ini menghalanginya dari kebiasaan ibadah yang ia lakukan.
Hingga suatu hari, ia keluar menemui orang-orang, “Aku sebenarnya ingin untuk tinggal di tempat kalian ini, namun aku adalah seorang wanita yang lemah. Orang-orang sangat banyak berdatangan ke tempatku, sehingga menyibukkanku dari dzikir-dzikir dan bekal akhiratku. Karena itu, kerinduanku untuk kembali ke kota Madinah menjadi bertambah.”
Maka dengan spontan kaum Muslimin di Mesir terkejut mendengar ucapannya, dan mencegah kendaraannya untuk pergi. Mereka datang dengan jumlah ribuan. Bahkan penduduk seluruh kota berkumpul meminta pada suaminya, agar Nafisah tetap tinggal di antara mereka. Sampai akhirnya pemimpin kota Kairo, As-Sari bin Al-Hakam bin Yusuf turun tangan. Ia memberikan sebuah rumah yang luas kepada Nafisah, kemudian membatasi dua hari saja dalam sepekan untuk orang-orang yang ingin menuntut ilmu kepada Nafisah. . Untuk hari yang lain, ia gunakan untuk beribadah pada Allah. Nafisah menerima usulan pemimpin Mesir, ia pun ridha dan tetap tinggal di Mesir.
Ketika Imam Asy-Syafi’i tinggal di Mesir, yaitu limatahun setelah kedatangan Nafisah, Imam Syafi’i menjalin hubungan yang kuat dengan Sayyidah Nafisah dan suaminya. Secara rutin Imam Syafi’i mengunjunginya, sebelum belajar di halaqah Masjid Fistath, dan setelah pulang dari halaqahnya. Imam Syafi’i biasa shalat tarawih di Masjid yang digunakan oleh Nafisah dan suaminya shalat. Ketika pergi menemuinya, Imam Asy-Syafi’i meminta padanya untuk dido’akan dan berwasiat agar Nafisah menyolatkan jenazahnya ketika Imam syafi’I wafat. Dan, wasiat inipun dipenuhi oleh Nafisah. Ketika Imam Asy-Syafi’i pun wafat pada tahun 204 Hijriyah, Nafisah menyolatkannya untuk menunaikan wasiatnya.
Beberapa tahun kemudian, Nafisah menderita sakit yang semakin hari semakin bertambah berat sakitnya, hingga mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan. Dokter yang memeriksanya menganjurkan untuk berbuka puasa, namun ia menjawab. “Alangkah mengherankan, sejak 30 tahun yang lalu, aku berdo’a kepada Allah ï·» agar bisa berjumpa dengan-Nya dalam keadaan puasa, apakah sekarang aku harus berbuka?. Tidak bisa!”. Kemudian ia beristirahat dan membaca dengan khusyu’ surat Al-An’am. Hingga sampai pada firman Allah ï·» yaitu surat Al-An’am ayat 127, Nafisah tak sadarkan diri. Keponakannya pun memeluknya, ia mendengar Nafisah mengucapkan syahadat, lalu kemudian wafat.
Penduduk Mesir pun diselimuti duka mendalam, saat mendengar wafatnya Nafisah. Sang suami berniat hendak menguburkan istrinya di makam Baqi’ di kota Madinah, namun penduduk Mesir bersikukuh, dan memintanya agar menguburkannya di Mesir. Dan permintaan ini dipenuhi oleh suaminya. Dan di hari pemakamannya, kaum Muslimin Mesir penuh berdesak-desakan mengantarkannya.
Pembaca yang dirahmati Alloh ‘Azza wa Jalla. Demikianlah kisah seorang Muslimah yang mulia ini, semoga semangat kaum Muslimah untuk menuntut ilmu dapat tumbuh subur, sehingga dengan ijin Allah Ta’ala, kita dapat songsong kembali kejayaan umat Islam di atas manhaj salafush sholih. terkhusus bagi kaum Muslimah yang menjadi tema utama dalam kajian ini, semoga dengan mengamalkannya dapat membuat para Muslimah menjadi semakin ta’at dan bertakwa. Dan semoga Alloh senantiasa membimbing kita, untuk memiliki hati yang teguh dan taat dalam menjalankan syari’at-Nya. Aamiin yaa Robbal 'Aalamiin.
Wallohu a’lam.,
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

You Might Also Like

0 komentar: