Bercermin Kepada Nafisah Binti Al-Hasan Rohimahalloh
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Pembaca yang dirahmati
Alloh. Nafisah Binti Al-Hasan Rohimahalloh adalah seorang muslimah ahli ibadah,
zuhud, sangat taat pada Allah, serta sangat mudah dikabulkan do’a-do’anya. ia
sangat tekun dalam beribadah, hingga Allah memberikan padanya banyak kemuliaan.
Beliau adalah putri dari Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Dengan demikian, ia masih ada hubungan darah dengan Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wasallam.
Nafisah dilahirkan
pada hari Rabu, tanggal 11 Rabiul Awwal pada tahun 145 Hijriah, di kota Makkah
Mukarramah. Ia memperoleh pendidikan pertama dari keluarganya yang shalih. Ia
telah hafal Al-Qur’an Di usia delapan tahun. Ibunya, Zainab putri dari Al-Hasan
bin Ali bin Abi Thalib, mendampinginya menuju kota Al-Madinah Al-Munawwarah,
untuk belajar di Masjid Nabawi bersama Muslimah lainnya. Hingga ia diberikan
julukan Nafisatul ‘Ilmi, sebelum sampai di usia pernikahannya. Selama hidup, ia
telah berhaji lebih dari 30 kali, dengan cara berjalan kaki dari Madinah ke
Mekkah.
Nafisah menikah
dengan Ishaq Al-Mu’tamin, putra dari Ja’far Ash-Shadiq Rohimahulloh di bulan
Rajab tahun 161 Hijriyah.
Nafisah
menghabiskan banyak waktunya di Masjid Nabawi. Ia pun menjadikan akhirat selalu
berada di hadapan matanya. Banyak melaksanakan shalat malam dan membaca
Al-Qur’an hingga ratusan kali. Ia biasa dibantu menyelesaikan pekerjaan rumahnya
oleh keponakannya. Kesholehahan Nafisah tergambar dari penuturan keponakannya ini, yang berkata,
“Aku melayani bibiku Sayidah Nafisah selama 40
tahun. Dan aku tidak pernah melihatnya tidur di malam hari, dan tidak
melihatnya kecuali selalu melazimkan puasa-puasa sunnah. Sampai aku bertanya kepadanya,
‘Apakah engkau tidak mengasihani dirimu sendiri, wahai Nafisah?’.
Kemudian Nafisah
menjawab. “Bagaimana aku mengasihani
diriku, padahal di depanku ada jurang yang tidak bisa dilewati kecuali oleh orang-orang
yang beruntung, karena ketaatannya kepada Alloh.’”
Keponakannya ini
pun mengatakan, “Bibiku hafal Al-Qur’an
dan bisa menafsirkannya. Ia selalu membaca Al-Qur’an sambil menangis.”
Pembaca yang
dirahmati Allah. Pada tahun 193 Hijriyah, Nafisah pindah ke kota Kairo di Mesir.
Penduduk Mesir pun menyambutnya dengan takbir dan tahlil. Mereka menyambutnya
dan menimba ilmu darinya ,hingga waktunya menjadi penuh, hampir-hampir
kesibukannya ini menghalanginya dari kebiasaan ibadah yang ia lakukan.
Hingga suatu hari,
ia keluar menemui orang-orang, “Aku sebenarnya ingin untuk tinggal di tempat
kalian ini, namun aku adalah seorang wanita yang lemah. Orang-orang sangat
banyak berdatangan ke tempatku, sehingga menyibukkanku dari dzikir-dzikir dan
bekal akhiratku. Karena itu, kerinduanku untuk kembali ke kota Madinah menjadi
bertambah.”
Maka dengan
spontan kaum Muslimin di Mesir terkejut mendengar ucapannya, dan mencegah
kendaraannya untuk pergi. Mereka datang dengan jumlah ribuan. Bahkan penduduk
seluruh kota berkumpul meminta pada suaminya, agar Nafisah tetap tinggal di
antara mereka. Sampai akhirnya pemimpin kota Kairo, As-Sari bin Al-Hakam bin
Yusuf turun tangan. Ia memberikan sebuah rumah yang luas kepada Nafisah,
kemudian membatasi dua hari saja dalam sepekan untuk orang-orang yang ingin
menuntut ilmu kepada Nafisah. . Untuk hari yang lain, ia gunakan untuk
beribadah pada Allah. Nafisah menerima usulan pemimpin Mesir, ia pun ridha dan
tetap tinggal di Mesir.
Ketika Imam
Asy-Syafi’i tinggal di Mesir, yaitu limatahun setelah kedatangan Nafisah, Imam
Syafi’i menjalin hubungan yang kuat dengan Sayyidah Nafisah dan suaminya.
Secara rutin Imam Syafi’i mengunjunginya, sebelum belajar di halaqah Masjid
Fistath, dan setelah pulang dari halaqahnya. Imam Syafi’i biasa shalat tarawih
di Masjid yang digunakan oleh Nafisah dan suaminya shalat. Ketika pergi
menemuinya, Imam Asy-Syafi’i meminta padanya untuk dido’akan dan berwasiat agar
Nafisah menyolatkan jenazahnya ketika Imam syafi’I wafat. Dan, wasiat inipun
dipenuhi oleh Nafisah. Ketika Imam Asy-Syafi’i pun wafat pada tahun 204
Hijriyah, Nafisah menyolatkannya untuk menunaikan wasiatnya.
Beberapa tahun kemudian,
Nafisah menderita sakit yang semakin hari semakin bertambah berat sakitnya,
hingga mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan. Dokter yang memeriksanya
menganjurkan untuk berbuka puasa, namun ia menjawab. “Alangkah mengherankan,
sejak 30 tahun yang lalu, aku berdo’a kepada Allah ï·» agar bisa
berjumpa dengan-Nya dalam keadaan puasa, apakah sekarang aku harus berbuka?.
Tidak bisa!”. Kemudian ia beristirahat dan membaca dengan khusyu’ surat
Al-An’am. Hingga sampai pada firman Allah ï·» yaitu surat Al-An’am ayat 127,
Nafisah tak sadarkan diri. Keponakannya pun memeluknya, ia mendengar Nafisah
mengucapkan syahadat, lalu kemudian wafat.
Penduduk Mesir
pun diselimuti duka mendalam, saat mendengar wafatnya Nafisah. Sang suami
berniat hendak menguburkan istrinya di makam Baqi’ di kota Madinah, namun
penduduk Mesir bersikukuh, dan memintanya agar menguburkannya di Mesir. Dan
permintaan ini dipenuhi oleh suaminya. Dan di hari pemakamannya, kaum Muslimin
Mesir penuh berdesak-desakan mengantarkannya.
Pembaca yang
dirahmati Alloh ‘Azza wa Jalla. Demikianlah kisah seorang Muslimah yang mulia ini, semoga semangat kaum
Muslimah untuk menuntut ilmu dapat tumbuh subur, sehingga dengan ijin Allah Ta’ala,
kita dapat songsong kembali kejayaan umat Islam di atas manhaj salafush sholih.
terkhusus bagi kaum Muslimah yang menjadi tema utama dalam kajian ini, semoga
dengan mengamalkannya dapat membuat para Muslimah menjadi semakin ta’at dan
bertakwa. Dan semoga Alloh senantiasa membimbing kita, untuk memiliki hati yang
teguh dan taat dalam menjalankan syari’at-Nya. Aamiin yaa Robbal 'Aalamiin.
Wallohu a’lam.,
Wallohu a’lam.,
Wassalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.


0 komentar: