Memaknai Nasionalisme Dengan Teleskop Syukur
Sudah
sepantasnya kita bersyukur dan berbahagia terhadap apa yang telah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala anugerahkan kepada bangsa ini. Negeri yang makmur, aman, tenteram dan
sentosa. Kemolekan alam yang sangat indah bagai miniatur surga. Ya,
“Indonesia”, begitulah Windsor Earl (1813–1865) [1]menamai
bumi maritim-agraris ini.
Negeri
kaum Muslimin terbesar di dunia, walaupun 791.145 km terbentang terhalangi
laut, gurun dan samudera dari negeri pelita keislaman itu. Teritorial raksasa
dari berbagai kerajaan kafir yang Allah kehendaki untuk tunduk di bawah kalimat
tauhid. Benar-benar nikmat dan kasih sayang yang agung dari Ar-Rahman.
Rasulullah
Shollallohu ‘Alaihi Wasallam akan sangat bahagia mendapati saudara-saudara yang
dirindunya dengan jumlah terbesar, walaupun tak satu pun dari nenek moyang kita
yang pernah berjumpa dengan Baginda Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Mudah-mudahan
kita termasuk bangsa yang paling dirindu Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi
Wasallam, Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin.
1.
1.000
Potensi 10.000 Adopsi?
Hidup
di era globalisasi tanpa batas ini membuat kita harus lebih gesit
mempertahankan ideologi dan karakter bangsa. Jangan sampai makro akulturasi ini
membuat kita menjadi bangsa pengekor yang hanya bisa mengagumi bangsa lain
dengan turut meniru seluruh gaya hidup mereka dan melupakan gaya hidup pribumi
yang sarat akan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan.
Kita
harus bangga dengan budaya Indonesia selama itu tidak bertentangan dengan
syariat Islam, misalnya seperti kopiah songkok, batik, pencak silat, meramaikan
rumah dengan hidangan terbaik di saat idul fitri, dan lain-lain. Harusnya ini
menjadi kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia dan turut melestarikannya
dalam kehidupan sehari-hari, karena semua ini sama sekali tidak bertentangan
dengan syariat Islam.
Sebenarnya bangsa kita ini sudah mempunyai banyak potensi untuk lebih mandiri tanpa harus banyak mengkonsumsi produk budaya asing. Ada sebuah kisah pribadi lucu dari seorang Trainer MDI (Management Development International) seputar barang produksi, sebut saja Mr. X. Alkisah Mr. X ini sedang liburan di Eropa demi menyaksikan tim sepak bola kesayangannya. Ketika hendak pulang ke Indonesia Beliau membeli sebuah tas terkenal berlabel barat sebagai oleh-oleh ketika pulang nanti. Sang trainer membeli tas tersebut dengan harga yang cukup mahal.
Sebenarnya bangsa kita ini sudah mempunyai banyak potensi untuk lebih mandiri tanpa harus banyak mengkonsumsi produk budaya asing. Ada sebuah kisah pribadi lucu dari seorang Trainer MDI (Management Development International) seputar barang produksi, sebut saja Mr. X. Alkisah Mr. X ini sedang liburan di Eropa demi menyaksikan tim sepak bola kesayangannya. Ketika hendak pulang ke Indonesia Beliau membeli sebuah tas terkenal berlabel barat sebagai oleh-oleh ketika pulang nanti. Sang trainer membeli tas tersebut dengan harga yang cukup mahal.
Setibanya di bumi pertiwi, Mr. X memberikan tas itu kepada istrinya. Tak disangka, ternyata tas bermerk terkenal itu adalah asli ‘made in Indonesia’, hasil buah tangan anak bangsa. Dan anehnya justru produksi terbaiklah yang diekspor, sedangkan produksi yang biasa-biasa saja yang dijual luas di pasar-pasar Indonesia.
Mungkin
bangsa kita terlalu itsar (mendahulukan orang lain) sehingga mendahulukan
barang terbaik untuk bangsa lain dan bangsa kita cukup menikmati KW2,3,4 dan
seterusnya. Bisa
jadi hal inilah yang membuat anak bangsa lupa terhadap potensi bangsanya
sendiri, yakni kurangnya publikasi ataupun pengiklanan tentang karya-karya anak
bangsa yang best seller di tengah masyarakat luas. Jika seluruh generasi muda
bangsa tahu, mungkin mereka akan lebih bersemangat menggali dan menghasilkan
hal-hal baru yang tentunya bisa sold out di dunia internasional.
Oke,
ini mungkin hanya masalah duniawi. Selain persaingan duniawi ada pula
persaingan yang jauh lebih fatal dan lebih berbahaya akibatnya daripada
persaingan duniawi semata, yakni saling bersaing dalam mempengaruhi dan
menginfiltrasi pemikiran dan budaya antara satu bangsa dengan bangsa lain
melalui media massa.
Inilah
yang harus kita pahami dan selesaikan bersama. Inilah yang menjadi poros
kegalauan sekaligus tantangan kita semua dalam memegang teguh karakter dan
ideologi bangsa. Mengibarkan bendera pancasila di tengah terpaan badai
globalisme.
2.
Globalisasi Pangkal
Globalisme
Saudaraku!!!
Sadar ataupun tidak, sebuah perang halus telah bergolak di tengah-tengah kita.
Para ulama modern sering menyebutnya dengan ghazw al fikri (perang pemikiran).
Perhelatan ghazw al fikri ini lebih parah dan lebih luas bahayanya daripada ghazw
al ‘Asykari (perang fisik), diantaranya;
1.
Orang yang diperangi pada perang fisik sangat jelas merasa diperangi, sedangkan
yang diperangi pada perang pemikiran tidak merasa diperangi, bahkan merasa
termanja dan terlenakan.
2.
Pada perang fisik biaya dan korban bisa menyebabkan runtuhnya satu negara,
terampasnya suatu daerah dan kerugian besar lainnya, sedangkan perang pemikiran
tidak membutuhkan biaya dan korban jiwa terlalu banyak namun akan memperoleh
korban yang banyak. Si korban pun tidak akan merasa menjadi korban, namun dia
akan merasa nyaman berjalan menelusuri budaya-budaya asing tersebut dan
tenggelam dalam lumpur westernisasi.
3.
Area pada perang fisik biasanya hanya sebatas wilayah-wilayah yang sepi
penduduk saja, sedangkan area pada perang pemikiran tak terbatas dan tak
pandang bulu, siapapun bisa terjangkit dan turut serta dalam barisan korban.
Jika kita tidak bisa menahan arus persaingan global ini maka kelak akan ada
masa dimana Indonesia sudah tidak pancasila lagi, Indonesia sudah tidak bhineka
tunggal ika lagi, dan lainnya yang intinya tidak akan kita dapati Indonesia
sejati di masa yang akan datang. Sudikah? tentu tidak! Maka pertahankanlah
pribadi bangsa ini! Jangan sampai integritas negeri yang kita cintai ini
terhempas di tengah pergulatan zaman.
Sekali
lagi globalisme telah meninabobokan bangsa ini dan membius generasi muda kita
menjadi generasi manja dan pengekor. Anak bangsa yang seharusnya menghabiskan
waktu untuk mengabdi kepada agamanya kini menjadi anak bangsa yang
lebih mencintai citra dan karsa negara lain, terlebih menggandrungi bangsa yang
non-islam.
Contohnya
di masa Presiden Soeharto saja The Beatles lebih banyak di gandrungi daripada
Bung Rhoma. Bahkan ketika Jepang merilis film crows zero pada 27 Oktober 2007,
banyak sekali anak bangsa yang terkena wabah beoisme ikut terbawa suasana.
Mereka
menjadikan tawuran sebagai ajang pergaulan muda paling keren dan modern,
padahal pada hakikatnya ini sangat jauh sekali dari nilai-nilai keislaman,
kebangsaan ataupun kemanusiaan. Padahal Islam sudah sangat banyak mengajarkan
tentang akhlak mulia terutama dalam hal pergaulan antar sesama dan sangat
membenci permusuhan, perpecahan dan pertumpahan darah.
Begitupun
dalam berdakwah, agama Islam agama yang paling santun dakwahnya. Kekerasan
seperti hal nya bom bunuh diri di tengah negeri yang aman itu tidak ada dalam
Islam. Karena pada hakikatnya kekerasan atau peperangan itu hanyalah puncak
dari dakwah ketika si objek dakwah sudah tidak bisa lagi di dakwahi dengan
jalur diplomasi lembut. Jika seandainya objek dakwah kita masih bisa dicerahkan
dengan dakwah secara terang-terangan, maka salah besar jika kita berlaku
radikal dalam menyebarkan agama ini.
Saya
ulangi, sangat salah besar berdakwah
dengan kekerasan padahal masih ada jalan-jalan lain yang masih bisa ditempuh
dengan jalan damai. Inilah Islam dan rahmatan lil ‘alamin (wujud kasih sayang
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bagi seluruh alam melalui peraturan-peraturannya).
Dakwah yang dirajut dengan senyuman dan kasih sayang, bukan dengan wajah muram
dan kilatan pedang.
Namun
walaupun radikalisme di tengah negeri yang aman itu tercela, pemuda muslim
tetap harus menjadi para pemuda tangguh dan kuat. Anjuran berlaku lemah lembut
dan tenggang rasa itu bukan berarti kita harus lemah lunglai. Karena sejak
kemunculannya, Islam mengajarkan kepada para pemuda Muslim supaya tumbuh
sebagai manusia kuat.
Banyak
sekali aksi heroik para pemuda Muslim yang terlukis wangi di tengah kilatan
sejarah, seperti ketika sayidina Ali bin Abi Thalib r.a mengalahkan Amru bin
Wud di Khandak, ketika Khalifah Muhammad Al-Fatih berhasil membebaskan
Konstantinopel, dan di usia 18 tahunnya panglima Thariq bin Ziyad memimpin
perang dan berhasil mengguncang Cordoba. Penaklukan fisik ini menobatkan mereka
sebagai para pemuda tangguh, walaupun usia mereka sangat relatif muda.
Jika
kita bandingkan dengan para pemuda masa kini, maka akan sangat terang sekali
perbedaannya. Rasanya bagaikan tingginya langit ke tujuh dengan rendahnya
palung Izu di Atlantik sana. Ada distingsi dan disparitas yang sangat jauh
diantara keduanya. Kita lihat saja, kebanyakan anak muda di zaman sekarang
lebih memilih berjoget ria nan uforia (Boy-Girl Band) daripada melatih fisiknya
dengan pencak silat, padahal pencak silat itu lebih penting dan lebih berguna
dan lebih indonesia bagi mereka. Kenapa? Padahal budaya bangsa ini terlalu kaya
untuk mengadopsi budaya asing. Kenapa? Kenapa?
Saya
telah merenungi tragedi keterpurukan karakter ini selama beberapa bulan dengan
kesimpulan yang cukup unik yakni selain terlalu lama menjadi sang inlander yang
terjajah penyebab lainnya ialah bangsa kita terlalu termanjakan oleh UNO/PBB
selama kurang lebih tujuh dekade terakhir (1945-2015) ini, dan mungkin akan
berlanjut.
Selama
satu abad terakhir ini kita terlalu tersihir dan ternina-bobokan dengan
usap-jitak PBB yang mengusung kedamaian ‘semu’, seperti anggapan bahwa kedamaian ideal itu sangat
mirip dengan goresan tinta dan nada yang terlukis dalam mimpi-mimpi John Lennon
di lagu Imagine-nya, kedamaian tanpa pandang bulu “imagine there’s no heaven,
no country” bahkan tanpa agama sekalipun “and no religion too” yang akhirnya
menelurkan dan menularkan sejumlah isme baru tentang tidak perlunya agama dalam
kehidupan.
Dalam
dekade ini juga perang pemikiran menyeruak dengan jumlah yang lebih masif den
dengan efek yang sangat singkat. Bisa kita bandingkan para pemuda Islam
Indonesia pra-merdeka (kaum baby boomers) yang sangat menghormati proses dan
perjuangan, karena mereka tahu persis tentang arti perjuangan dan kemandirian.
Sangat berbeda sekali dengan para pemuda pasca-kemerdekaan (generasi x,y,z dan
alfa) yang identik dengan manja, alay dan hedon karena mereka tidak merasakan
pahitnya masa transisi dan masa di awal-awal kemerdekaan bangsa ini.
Mungkin
jika Presiden Soekarno menyaksikan fenomena merebaknya kaum alay di abad modern
ini mungkin hatinya akan sangat terpukul. Karena puluhan tahun yang lalu beliau
pernah mengestimasikan 10 pemuda saja untuk mengguncang dunia.
3.
Memaknai
Nasionalisme Dengan Teleskop Syukur
Memaknai
nasionalisme di era modern analogi kritisnya seperti ini; Indonesia adalah
rumah kita, jagalah kehormatannya sebagaimana kita menjaga kehormatan diri kita
dan nama keluarga kita. Sedangkan Malaysia, Timor Leste, Singapura, Brunnei
Darussalam dan lainnya mereka adalah tetangga dan teman kita.
Perlakukanlah
mereka sebagaimana kita bermuamalah dengan mereka secara islami. Memang benar
adanya bahwa ‘the youth today is the leader tomorrow’ pemuda pada hari ini
adalah pemimpin di masa yang akan datang. Dalam kata lain baik buruknya bangsa
di masa yang akan datang ditentukan oleh para pemudanya di masa kini. Maka
sudah sepatutnya semangat dan gelora nasionalisme ini mula-mula diprakarsai
oleh kaum Muda. Semangat nasionalisme yang jauh dari kata radikalisme, namun
nasionalisme yang diikat dengan tali simpul religiusitas yang sangat kuat.
4.
Menuju
Imperium NKRI
Dalam
bagian ini kita akan berbicara tentang kiat menuju imperium NKRI yang bukan
hanya imaginaterium. Imperium disini bukanlah menjadi bangsa penjajah seperti
di era Dean Deals, namun imperium yang lebih besar, yaitu ketika bangsa ini
tersirami keridhoan dan keberkahan dari Sang Maha Pencipta. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang
artinya:
“Dan sekiranya penduduk
negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maka pasti akan kami limpahkan
keberkahan dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka kami siksa mereka karena perbuatan mereka.” (QS.
Al-‘Araf: 96)
Sekiranya
bangsa Indonesia tidak terinfiltrasi dengan budaya barat dan menjaga nilai
nilai keislaman, Insya Alloh bangsa ini
dapat menjadi Imperium kaum Muslimin modern, karena kalau kita mau jujur
karakter bangsa kita ini lebih santun daripada bangsa lain. Buktinya Islam
datang ke indonesia dengan sangat aman, tidak perlu konflik fisik seperti di
negara lain.
Risalah
Islam mengalir dengan deras mengairi pulau-pulau di seluruh nusantara. Sebagian
besar diantara mereka sangat cepat menerima Islam dan sebagian kecil lainnya
belum menerima Islam, namun mereka tetap toleransi dan tenggang rasa terhadap
agama baru tersebut. Beginilah karakteristik bangsa Indonesia sejak dulu kala.
Kerukunan
dan kesatuan adalah harga mati. Jadi jangan sekali-kali menyamakan karakter
bangsa kita dengan karakter bangsa timur tengah. Karena jika mengacu pada
memori sejarah saja dapat kita dapati dengan sangat mudah perbedaannya.
Ketika
Islam masuk ke Persia, Cordova dan bahkan negara mini seperti Bahrain sekalipun
selalu saja berlangsung dengan jalan penaklukan perang, dalam kata lain si
penduduk tak bisa disadarkan dengan diplomasi halus.
Sedangkan
dalam penyebaran Islam ke Indonesia, dengan hikmah dan takdir Alloh tak pernah
kita dapati peperangan besar terekam dalam kaleidoskop perjalanan bangsa ini,
bahkan Islam yang diemban oleh Nusantara inilah yang di sinyalir justru mampu
menyatukan lima pulau besar di bawah Laa
ilaha illallah.
Dan
hingga saat ini Alhamdulillah negara seluas 5.193.250 km² ini 87-88%
penduduknya adalah Muslim. Suatu prestasi besar dan layak untuk dibanggakan,
yakni dengan wujud peningkatan iman dan takwa kita kepada Sang Maha Pemberi
Kemerdekaan. sebagai hadiah untuk
panutan tercinta, yakni baginda Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi Wasallam.
Namun
tak dapat disangkal bahwa globalisme pada satu abad terakhir ini sudah banyak
merusak tatanan nilai bangsa kita. Mayoritas anak bangsa terutama para
pemudanya telah mulai meninggalkan pribadi bangsanya sedikit demi sedikit dan
tanpa terasa kini integritas bangsa ini nyaris hilang terseret ke dalam jurang
radikalisme dan liberalisme.
Mereka
telah lupa akan wasiat emas para pendahulunya seperti K.H Hasyim Asy’ari, K.H
Ahmad Dahlan, K.H A. Hassan, K.H Muhammad Natsir, dan mantan presiden Indonesia
yang paling shaleh Insya Allah, K.H Sjafruddin Prawiranegara.
Wahai
kaum! Syukurilah anugerah besar yang telah Alloh Subhanahu wa Ta’ala limpahkan
ini! Baarokallohu fiikum. Wallohu a’lam.


0 komentar: