Meniti Syukur dengan Menyebutkan Pusparagam Kenikmatan dari Alloh ‘Azza Wa Jalla
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ والسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى ألِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ أمّا بَعْدُ:
Pembaca yang dirahmati Alloh. Setiap waktu,
kita semua mendapatkan kenikmatan silih berganti, baik nikmat batin berupa ilmu
agama dan kebahagiaan maupun nikmat dunia berupa materi dan kesehatan.
Kewajiban seorang hamba ketika mendapatkan nikmat adalah bersyukur kepada Allah
Ta’ala.
Para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa
hakikat syukur adalah nampaknya nikmat Allah pada lisan hamba-Nya dalam bentuk memuji-Nya dan mengakui nikmat tersebut
adalah berasal dari Alloh ‘azza wa jalla, pada hatinya dalam bentuk menyaksikan
dan mencintai-Nya, dan pada anggota tubuhnya dalam bentuk tunduk dan taat
kepada-Nya”.
Dikatakan pula bahwa syukur terbangun di atas
lima dasar, di antaranya:
Yang pertama
adalah dengan tunduknya seorang hamba kepada Dzat yang menganugerahkan nikmat.
Kemudian yang kedua adalah dengan mencintai
Alloh ‘azza wa jalla, Dzat yang memberikan kenikmatan. Selanjutnya ketiga dengan mengakui nikmat itu dari
Alloh. Kemudian yang keempat memuji
Alloh ‘azza wa jalla atas setiap anugerah nikmat-Nya. Dan yang kelima adalah tidak menggunakan nikmat
yang telah diberikan untuk bermaksiat kepada Alloh”
Dari penjelasan di atas nampaklah, bahwa
menyebutkan nikmat Allah hakikatnya merupakan bagian dari bersyukur kepada
Allah Ta’ala. Terkait dengan masalah menyebutkan nikmat Allah, Kita harus
mengetahui bahwa menyebutkan nikmat Allah merupakan Perintah Allah.
Pembaca yang dirahmati Alloh. Menyebutkan
nikmat Allah yang didapatkan oleh seorang hamba adalah perkara yang
diperintahkan oleh Rabbuna ‘Azza wa Jalla. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman
dalam surat Adh-Dhuha ayat 11.
فَحَدِّثْ رَبِّكَ
بِنِعْمَةِ وَأَمَّا
“Dan terhadap nikmat Robbmu, maka hendaklah
kamu sebutkan”.
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata berkata
di dalam tafsirnya, “Ini mencakup nikmat agama maupun nikmat dunia, kata فَحَدِّثْ disini adalah perintah, yaitu pujilah Allah
atas limpahan nikmat-nikmat-Nya, dan bisa saja suatu nikmat tertentu
dikhususkan penyebutannya jika memang ada maslahat, namun jika tidak, maka sebutkan
nikmat Allah secara umum, karena menyebutkan nikmat Allah mendorong seseorang
untuk mensyukurinya, dan mengharuskan hati seorang hamba mencintai Dzat yang
telah menganugerahkan nikmat tersebut, karena sesungguhnya fitrah hati seorang
hamba mencintai kepada yang telah berbuat baik kepadanya”.
Dari penjelasan tafsir tadi, kita bisa
mengambil faidah bahwa nikmat itu ada dua, yaitu nikmat dalam agama dan nikmat
dalam urusan dunia. Jadi sebenarnya, sesorang bisa beribadah dan beramal shalih
adalah sebuah nikmat dan anugerah dari Allah. Dan kita diperintahkan untuk
menyebutkan nikmat tersebut, sebagaimana kita diperintahkan pula menyebutkan
nikmat Allah berupa harta benda dan kenikmatan duniawi sesuai dengan syariat.
Menyebutkan nikmat Allah yang khusus adalah
suatu perkara yang tertuntut, jika memang ada maslahat dan tidak ada ancaman
bahaya, seperti sum’ah dan hasad. Menyebutkan
nikmat Allah adalah pendorong seorang hamba bisa bersyukur kepada-Nya, bahkan
hakikatnya ia merupakan bentuk mensyukuri nikmat itu sendiri. Hal ini
dikarenakan menyebutkan nikmat Allah berarti seorang hamba mengingat dan
mengakui bahwa nikmat itu adalah karunia Allah dan ia benar-benar menyandarkan
nikmat itu kepada Allah. Diapun menyadari bahwa Dia adalah Robb Yang Maha Pemurah.
Sehingga ia pun bersyukur kepada Rabb-Nya.
Pembaca. Lalu kapankah seorang Muslim
diperintahkan untuk menyebutkan nikmat Allah?. Seorang ulama salaf berkata, “Selama
menyebutkan nikmat Allah tersebut tidak mengakibatkan bahaya seperti sum’ah dan
hasad, maka tidak mengapa menyebutkannya. Namun jika menimbulkan bahaya, maka
menyembunyikan nikmat adalah lebih utama”.
Dalam menyebutkan nikmat Allah perlu
diperhatikan beberapa hal, di antaranya: yang pertama, menghadirkan niat dalam hati hanya untuk melaksanakan
perintah Allah.
Kemudian yang kedua, Sebutkan nikmat yang Anda dapatkan tersebut kepada orang
atau sahabat dekat Anda yang mencintai Anda karena Allah. Dan hindari
menyebutkannya kepada orang yang diduga kuat ada hasad, iri di hatinya dan tidak
suka jika nikmat tersebut Anda kabarkan kepadanya.
Selanjutnya yang ketiga, Ketika seseorang menyebutkan nikmat Allah secara khusus
dikhawatirkan orang lain hasad kepada dirinya, maka hendaknya beralih kepada
menyebutkan nikmat Allah secara umum, yaitu nikmat yang diperolehnya dan
diperoleh pula oleh orang lain, sehingga dengan demikian Anda tetap bisa
melaksanakan perintah Allah yang terdapat dalam surat Adh-Dhuha ayat kesebelas tadi.
Yang terakhir, yaitu yang keempat, Harus diperhatikan apakah ada kemungkinan munculnya sum’ah
dan hasad atau tidak. Karena jika tidak menimbulkan rasa sum’ah dan hasad, maka
menyebutkan nikmat Alloh ini harus ditampakkan. Namun apabila dikhawatirkan
akan muncul benih-benih kehasadan dan sum’ah, maka tidak usah disebutkan di
hadapan orang lain.
Pembaca yang dirahmati Alloh. Demikianlah
pembahasan kita pada kesempatan ini. Semoga Alloh ‘azza wa Jalla memberikan
hidayah kepada kita untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya, dan tidak segan
untuk menyebutkan nikmat-nikmat Alloh sembari memuji dan mengagungkan-Nya di
setiap waktu. Dan semoga Alloh ‘Azza wa Jalla senantiasa membimbing hati kita,
untuk menjadi hati yang teguh dalam menjalankan syari’at-Nya. Aamin Ya Rabbal
‘Aalamin. Wallohu a'lam.
Semoga bermanfaat! Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


0 komentar: