Berikhwah Di Tengah Perbedaan
Bismillahirrohmanirrohim.
Alhamdulillah wa sholaatu wassalaamu
‘ala Rosulillah. Allohumma sholli wa
sallim wa baarik ‘ala Nabiyyina wa Habibina wa Sayyidina Muhammad wa ‘ala
aalihi wa azwaajihi wa dzurriyyatihi wa ash-haabihi ajma’iin.
Pertama-tama marilah kita bersyukur kepada Alloh
yang telah mentakdirkan kita terlahir dari rahim seorang Muslimah dan
menjadikan kita sebagai Muslim. Ini adalah kenikmatan terbesar yang telah Alloh
berikan kepada kita secara gratis tanpa kita memintanya. Semoga Alloh
mengkaruniakan surga kepada kita semua tatkala kita memintanya dengan do’a dan
ikhtiar kita. Saudaraku ketahuilah bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang
benar di sisi Alloh. Sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya
satu-satunya agama yang Alloh ridhoi adalah Islam."
Itulah sebabnya Alloh mewasiatkan kepada kita
dengan wasiat yang memaksa dengan segala rahmatnya:
"Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Alloh dengan
sebenar-benar ketakwaan. Dan janganlah sekali-kali kalian mati, kecuali dalam
keadaan Muslim."
Maka Islam adalah harga mati yang harus kita
pertahankan sampai kita kembali keharibaan-Nya. Islam adalah jalan keselamatan
satu-satunya. Sebesar apapun dosa seorang hamba, pada akhirnya ia akan
diizinkan menikmati surga dan berbagai hidangannya yang lezat nan menggiurkan.
Walaupun sebelumnya ia harus merasakan pedihnya siksa neraka terlebih dahulu,
berbeda dengan orang-orang kafir dan munafik yang selamanya berada di dalam api
neraka. Na'udzu billahi min dzaalik. Namun tentunya kita harus terus berdo'a
dan berusaha menjadi Muslim yang sholeh supaya bisa langsung menikmati surga Alloh.
Lalu bagaimana caranya supaya kita tergolong Muslim yang sholeh?
Hal ini tentunya sangat butuh keseriusan iman
kita yang dibuktikan dengan do'a-do'a yang harus selalu kita panjatkan kepada Alloh.
Serta usaha peningkatan kualitas ilmu dan keimanan kita dengan terus
mempelajari ilmu-ilmu keislaman.
Saudaraku! 1440 tahun lalu Rosululloh Sholallohu alaihi wasallam telah mewanti-wanti kepada kita semua supaya memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Disamping itu, Rosululloh pun telah mengabarkan bahwa umatnya (kaum Muslimin) akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu golongan akan diselamatkan (langsung masuk ke dalam surga) sedangkan 72 golongan lainnya harus terlebih dahulu merasakan pedih dan hinanya api neraka. Lalu siapakan yang satu golongan ini? Apakah kita sudah berada di dalam golongan tersebut?
Saudaraku! 1440 tahun lalu Rosululloh Sholallohu alaihi wasallam telah mewanti-wanti kepada kita semua supaya memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Disamping itu, Rosululloh pun telah mengabarkan bahwa umatnya (kaum Muslimin) akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu golongan akan diselamatkan (langsung masuk ke dalam surga) sedangkan 72 golongan lainnya harus terlebih dahulu merasakan pedih dan hinanya api neraka. Lalu siapakan yang satu golongan ini? Apakah kita sudah berada di dalam golongan tersebut?
Perlu kita pahami bahwa 73 golongan yang
dimaksud bukan seperti ormas, partai, majelis ta'lim, atau apapun. Namun
golongan tersebut mengacu kepada sifat. Rosululloh mengabarkan bahwa satu
golongan tersebut bernama Al-Jamaah.
Dalam riwayat yang lain Rosululloh Sholallohu
alaihi wasallam menyebutkan sifat dari satu golongan tersebut, yakni:
"Mereka adalah orang-orang yang memahami dan mengamalkan Islam sebagaimana
yang aku dan sahabatku pahami dan amalkan."
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Muslimin
manapun dan dari jamaah manapun asalkan dia memenuhi apa yang Rosululloh
sifatkan, maka ia termasuk Al-Jamaah sekalipun sendirian. Adapun ciri-cirinya antara
lain:
1.
Memahami
Islam sebagaimana yang Rasul dan para sahabatnya pahami.
2.
Mengamalkan
Islam sebagaimana yang Rasul dan para sahabatnya pahami.
3.
Memiliki
semangat persatuan sekalipun saat ini belum ada kekhilafahan Islam yang
mengikat persaudaraan kaum Muslimin dengan sistem politik Islam internasional.
4.
Terjauh
dari sifat fanatik golongan (kejamaahan, keormasan dan kepartaian).
5.
Saling
belajar, saling mendengar dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
6.
Siap
bersatu disaat ada komando persatuan dari seorang khalifah yang disepakati dan
ditaati oleh seluruh kaum Muslimin.
Jadi kesimpulannya dengan segala keterbatasan
yang terjadi pada saat ini kita masih bisa berada di dalam Al-Jama'ah asalkan
memegang teguh syarat-syarat di atas terutama memahami dan mengamalkan Islam
sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh Rasul dan para sahabatnya. Lantas
mengapa Rasul merekomendasikan kepada kita agar mengikuti Beliau dan para sahabatnya?
Saudaraku renungilah! Secara logis air yang
100% jernih itu berada tepat di tempat yang paling dekat dengan mata airnya.
Demikian pula para sahabat Nabi, mereka adalah Shalihul Muslimin yang langsung
menimba ilmu dari Nabi, hidup bersamanya, sujud bersamanya, berjihad bersamanya
dan tumbuh dalam kesucian tarbiyah sang Rasul tercinta. Maka mereka adalah
orang-orang shalih yang paling mempresentasikan (paling mewakili) bagaimana Rosululloh
memahami dan mengamalkan Islam. Setelah para sahabatnya, Rosululloh Sholallohu
alaihi wasallam merekomendasikan kita untuk belajar tentang pemahaman dan
pengamalan Islam kepada para Tabi'in yang tak lain adalah murid-murid terbaik
para sahabat Nabi.
Dengan analogi mata air tadi, status dan
tingkat kebenaran pemahaman serta pengamalan para Tabi'in pun tidak diragukan,
setidaknya 99% kebenaran ada pada mereka. Hal ini sebagaimana sabdanya:
Sebaik-baik masa adalah masa di mana aku
hidup, kemudian masa setelahku (era para sahabat Nabi) kemudian masa setelahnya
(era Tabi'in/murid para sahabat).
Saudaraku sungguh mereka memang moyang teladan yang wajib kita jadikan panutan. Hampir semua Muslimin di ketiga masa itu memiliki ilmu yang tinggi, iman yang kuat serta ruh juang yang besar. Bahkan mereka adalah guru dari para Imam yang 3 (Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad. Imam Abu Hanifah tidak termasuk karena beliau seorang tabi'in). Kemudian untuk lebih meyakinkan hati bahwa mereka memang harus diikuti mari kita ulas tentang sekelumit identitas keulamaan mereka. Bagaimanakah tingkat keilmuan, keimanan dan ketakwaan orang-orang yang disebut sebagai ulama pada waktu itu?
Saudaraku sungguh mereka memang moyang teladan yang wajib kita jadikan panutan. Hampir semua Muslimin di ketiga masa itu memiliki ilmu yang tinggi, iman yang kuat serta ruh juang yang besar. Bahkan mereka adalah guru dari para Imam yang 3 (Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad. Imam Abu Hanifah tidak termasuk karena beliau seorang tabi'in). Kemudian untuk lebih meyakinkan hati bahwa mereka memang harus diikuti mari kita ulas tentang sekelumit identitas keulamaan mereka. Bagaimanakah tingkat keilmuan, keimanan dan ketakwaan orang-orang yang disebut sebagai ulama pada waktu itu?
Saudaraku! Penyematan nama ulama merupakan
sesuatu yang sakral dan tidak sembarangan pada waktu itu. Ada beberapa syarat
yang dengannya ia berhak ditimba ilmunya. Di antaranya:
1.
Adil (عدل)
Hal
ini ditinjau dari sisi keimanan dan ketakwaan seorang ulama. Maksudnya adalah
keadilan dalam memenuhi syariat Islam tanpa bermaksiat di dalamnya. Dapat pula
diukur dalam hal ibadah, kezuhudan, kewaraan, juga nasab mereka. Identitas
keadilan seorang ulama akan tercoreng gara-gara banyak melakukan hal yang
mubah, apalagi yang makruh dan haram sudah pasti mereka menjauhinya.
2.
Memiliki
jati diri intelektualitas yang tinggi baik dalam hafalannya ataupun dalam
karya-karyanya berupa kitab. (تم ضبط)
Hal
ini ditinjau dari sisi kecendekiawananya. Seorang ulama harus kuat baik hafalan
dalam hatinya ataupun kuat dalam tulisannya. Jangan sampai ada keraguan dan
kealfaan karena hal ini berkaitan dengan kemaslahatan umat Rosululloh.
3.
Memiliki
Jalur Guru Yang Tsiqah (متصل السند)
Seorang
ulama yang dapat dijadikan guru harus memiliki track record yang bagus dalam
menuntut ilmu. Salah satunya adalah dengan menimba dari guru-guru yang tsiqah
(kompeten) pula.
4.
Tidak
ada Penyakit dan Kejanggalan (غير معلل ولا شد)
Seorang
ulama harus mengajar dengan sangat hati-hati dan sebisa mungkin terbebas dari
berbagai kesalahan dan kejanggalan dalam berdalil. Apabila pendapatnya
bertabrakan dengan konsensus para ulama yang lebih kuat dan lebih banyak maka
pendapat ulama ini tertolak dan tidak bisa dijadikan pegangan. Itulah beberapa
syarat mutlak ketika seseorang disebut sebagai ulama waratsatul anbiya (pewaris
para Nabi). Jika ada ulama namun bertentangan dengan banyak persyaratan di atas
maka hakikatnya ia adalah ulama suu' (ulama yang buruk menyesatkan) yang setiap
pendapatnya tidak bisa diterima.
Nama-nama ulama yang kita dengar hingga saat
ini merekalah yang dengan rahmat Alloh mendapatkan fadhilah ilmu dan iman. Di antara
meraka ada Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, Hudzaifah, Mush’ab, Ibnu Umar, Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abbas, Muawiyah, Amr, Al-Hasan, Al-Husain Rodhiyallohu anhum wa
rodhuu anhu. Kemudian di kalangan tabi’in ada Al-Hasan Al-Bashri, Atho’ bin Abi
Robah, Asy-Sya’bi, Said bin Musayyab, Said bin Zubair Rohimahumulloh. Kemudian adapula para ulama setelahnya yang masyhur
seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Hafizh Ibnu
Hajar, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Al-Hafizh Adz-Dzahabi, Imam Nawawi,
As-Suyuti, Al-Ghazali, Al-Juwaini Rohimahumulloh dan lain-lain yang luar biasa
dalam keimanan dan keilmuannya. Semoga Alloh memberikan pahala dan kenikmatan
yang tak terhingga bagi mereka dan ditempatkan di surga Firdaus-Nya. Aamiin Yaa
Rabbal Aalamiin.
Ikhwatul Ahibba! Maka
apabila para ulama dengan ketinggian ilmu dan ketajaman imannya (rosikhuna fil
ilmi) telah bersaksi bahwa ajaran Islam itu benar, kita yang tak seberapa
dibandingkan mereka mestinya ikut serta meyakini 100% tentang kebenaran yang
disampaikan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Jangan pernah mengandalkan akal dan
perasaan kita sebagai pembanding dalil-dalil Al-Qur'an, karena jujur saja
indera dan logika kita terlalu terbatas untuk mengukurnya. Sebagaimana telinga
kita tidak dapat mendengar suara infrasonik padahal suara itu ada, sebagaimana
mata kita tidak bisa melihat objek di belakang kita padahal objek itu ada.
Pernahkah kita memikirkan tentang berkah
iman? Mari kita sama-sama belajar kepada ayahanda para Nabi yakni Kholilulloh Ibrohim alaihissalam. Beliau adalah orang yang sangat kritis dalam bertanya
dan paling jujur dalan keimanannya sehingga akhirnya menjadi seorang Muttaqin
dengan qolbun salimnya Kita bisa mencermati sejarah pensyariatan qurban. Di
balik pedihnya ujian cinta keluarga Ibrohim ada keberkahan abadi yang
senantiasa dinikmati oleh orang-orang setelahnya. Bukankah setiap hari raya
idul adha kita dapat menikmati daging qurbannya? Itulah berkah iman yang patut
kita renungkan.
Maka dahulukanlah wahyu daripada akal dan
perasaan. Lalu yakinilah bahwa seluruhnya adalah benar karena bersumber dari Alloh
yang Maha Benar. Mari kita cermati firman Alloh di bawah ini!
“Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu Kitab Al-Qur'an dengan membawa kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang murni.” (QS. Az-Zumar ayat 2 & 3)
Ikhwatul Ahibba! Dalam ayat ini pun Alloh
telah mengingatkan bahwa agamanya adalah agama kebenaran dan kemurnian. Agama
yang sangat selaras dengan fitrah manusia.
Perumpamaan lainnya anggaplah kita memiliki
sebotol madu murni. Kita tahu bahwa madu dengan tingkat gula sekian persen
dapat menjadi wasilah kesehatan dan berbagai manfaat bagi manusia. Namun
apabila kadar gulanya ditambah atau dikurangi akan menimbulkan penyakit dan
hilang beberapa kemanfaatannya.
Selain itu hakikatnya madu tersebut tidak bisa lagi dikatakan sebagai madu murni. Apalagi kalau dicampur adukkan dengan ciptaan Alloh yang lain, misalnya kitolod. Maka hilanglah kemanfaatannya sebagai makanan yang sehat, bahkan menjadi racun. Kita telah sama-sama mengetahui tentang arti sebuah kemurnian. Betapa pentingnya kemurnian itu, dan dengan kemurnian itulah kaum Muslimin dapat bersatu di bawah kalimat laa ilaaha illalloh.
Selain itu hakikatnya madu tersebut tidak bisa lagi dikatakan sebagai madu murni. Apalagi kalau dicampur adukkan dengan ciptaan Alloh yang lain, misalnya kitolod. Maka hilanglah kemanfaatannya sebagai makanan yang sehat, bahkan menjadi racun. Kita telah sama-sama mengetahui tentang arti sebuah kemurnian. Betapa pentingnya kemurnian itu, dan dengan kemurnian itulah kaum Muslimin dapat bersatu di bawah kalimat laa ilaaha illalloh.
Ikhwatul Ahibba!
Tulisan ini tidak sedang menggiring atau mengajak untuk bergabung dalam jamaah
tertentu. Karena memang saat ini kita sedang kehilangan figuritas agung yang
kita harus bergabung di dalamnya, yakni Khilafah Islamiyah. Namun tulisan ini
sedang mencoba membangkitkan kesadaran masing-masing tentang pentingnya arti persatuan
di antara kaum Muslimin.
Posisi kaum Muslimin yang saat ini
berkelompok-kelompok pun tidak dapat disalahkan. Karena secara realita sekali
lagi belum ada wadah yang mempersatukan itu. Selain itu kewajiban siyasah
(khilafah) itu masuk kedalam fiqih (wajib dilakukan apabila syarat terpenuhi)
bukan masuk ke dalam aqidah (wajib dilakukan kapanpun, dimanapun, dalam kondisi
apapun). Mari kita resapi dengan seksama firman Alloh di bawah ini!
"Dan berpegangteguhlah kalian kepada tali agama Allah dan janganlah berpecahbelah!"
"Dan berpegangteguhlah kalian kepada tali agama Allah dan janganlah berpecahbelah!"
Di dalam firman Alloh tersebut terdapat dua
kewajiban yang berbeda. Ada kewajiban yang bersifat aqidah (kewajiban mutlak)
dan adapula kewajiban yang sifatnya fiqhiyah (kewajiban fadhilah). Kewajiban
aqidah yaitu suatu kewajiban yang wajib dilaksanakan kapanpun, dimanapun dan
dalam keadaan apapun meskipun sendirian. Sedangkan kewajiban yang bersifat
fiqhiyah adalah suatu kewajiban yang wajib dilaksanakan seoptimal mungkin
sesuai keadaan yang sedang dialami oleh kaum Muslimin.
Dalam ayat ini berpegangteguh kepada tali
(agama) Alloh merupakan kewajiban yang bersifat aqidah, sedangkan berjamaah di
dalam ayat ini merupakan kewajiban fiqhiyah. Sekalipun kaum Muslimin belum bisa
bersatu dalam satu wadah, keislaman mereka tidak gugur. Contoh lainnya adalah
firman Alloh
"Rukuklah
kalian bersama orang-orang yang rukuk."
Yang termasuk kewajiban aqidah dalam ayat ini
adalah perintah untuk mendirikan shalat, sedangkan shalat berjamaah merupakan
kewajiban fiqhiyah yang dapat menambah pahala bagi pelakunya. Sekalipun
seseorang dengan terpaksa shalat sendirian shalatnya tetap sah namun ia
kehilangan keutamaan yang Alloh janjikan dari shalat berjamaah. Jadi dalam hal
ini kita harus memahami fiqih realita, yakni keluwesan hati terhadap sesama
Muslim yang saat ini memang sedang berada dalam fase perpecahan dan sulit untuk
bersatu. Kita tidak boleh memaksa seseorang untuk wajib gabung kepada kelompok
kita, apalagi dengan diiringi ancaman.
Wallohu a'lam! Yang
paling tepat dilaksanakan oleh kaum Muslimin saat ini adalah berusaha
menjalankan syariat dengan semaksimal mungkin serta memegang teguh rekomendasi
dari baginda Rosululloh Sholallohu alaihi
wasallam, yakni Al-Qur'an dan Hadits yang shohih serta menapaki kehidupan
tiga kurun terbaik. Dengan demikian in syaa Alloh kita akan selamat di dunia
dan di akhirat, karena pada hakikatnya kita sedang berbaris dengan Al-Jama'ah
yang imamnya adalah Rosululloh. Selain itu kita pun harus melunakkan hati kita,
merendahkan sayap-sayap kefanatikan terhadap golongan masing-masing serta berusaha
berikhwah dengan setiap kaum Muslimin selama mereka memegang teguh manhaj Ahlussunnah Wal-Jama'ah tanpa pilih
bulu.
Maka mari kita ketuk hati-hati kita untuk
lebih tawadhu, saling belajar, saling mendengar dan saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran. Sungguh beruntung mereka yang mau saling mendengar dan
saling memetik hikmah. Alloh menyebut mereka sebagai orang yang berakal dan
mendapat petunjuk serta memperoleh kabar gembira. Sebagaimana firman Alloh di
bawah ini:
“Maka berikanlah kabar gembira kepada semua hamba-Ku, yang mereka sangat gemar mendengar (memilah dengan penuh daya analitis yang objektif) pendapat dan mengikuti pendapat yang paling baik (paling sesuai dengan Qur'an dan Sunnah).
Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan merekalah orang-orang
yang memiliki akal.” (QS. Az-Zumar: 17-18)
Wallohu
a’lam bish-showwab. Subhaanakallohumma wa bihamdika asyhadu an laa ilaaha illa
anta, astaghfiruka wa atuubu ilaika.
***


0 komentar: